Jul 7, 2014

SOFISTIKA PILPRES

Zainul Maarif
Dosen Filsafat Komunikasi @philomaarif    


Menyaksikan perdebatan seputar Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 ini terasa seperti membaca buku Sofistichal Ellency karya Aristotle, filsuf Yunani (384-322 SM). Banyak “sofistika” di dalamnya, yaitu kesesatan-kesesatan pikir (fallacies), terutama kesesatan relevansi, yaitu kesesatan pikir yang muncul karena ketiadaan hubungan logis antara pokok pikiran (premis) dan kesimpulan.

KESESATAN RELEVANSI

Kesesatan relevansi yang paling dominan tentu saja argumentum ad populum, yaitu pernyataan yang diajukan untuk meyakinkan pendengar dengan mengatasnamakan kepentingan orang banyak, tanpa pembuktian logis, karena yang dituju perasaan pendengar bangkit untuk menerima pernyataan itu. Ada Capres/Cawapres mengaku hendak menghebatkan Indonesia. Ada pula Capres/Cawapres yang mengaku sebagai bagian dari rakyat.

Pengakuan mereka tampak indah, tapi tak selalu benar. Klaim mereka mungkin benar, tapi tak selalu faktual. Karena itu, kampanye-kampanye “bombastis” semacam itu perlu ditinjau ulang kemaksuakalan dan kesesuaiannya dengan kenyataan di masa lalu, masa kini dan masa depan. 

Pertama-tama, apakah pernyataan itu masuk akal? Kedua, apakah pernyataan itu sesuai dengan kenyataan? Karena rasionalitas tidak cukup bagi suatu pernyataan, maka perlu kajian atas faktualitas pernyataan di masa lalu, aktualitas pernyataan di masa kini, dan potensialitas-positif-futuristik pernyataan di masa depan, supaya kita tidak terjebak dalam jerat  argumentum ad populum.

Selain argumentum ad populum, ada dua kesesatan relevansi yang sering mengisi Pilpres ini, yaitu: argumentum ad hominem dan argumentum ad verecundiam. Yang pertama kesesatan pikir yang muncul karena menerima/menolak pernyataan berdasarkan pada kesukaan/ketidaksukaan pada pribadi yang mengatakan, bukan berdasarkan pada pernyataan itu sendiri. Ketika yang mengatakan disukai, maka pernyataannya diterima. Ketika yang mengatakan tidak disukai, maka pernyataannya ditolak. Suka/tidak suka di situ sangat bersifat personal bahkan kadang irasional sehingga kebenaran/kesalahan pernyataan yang muncul kabur. Di argumentum ad hominem, suka/tidak suka terhadap komunikator menjadi dasar pembenaran/penolakan pesan komunikasi.

Di argumentum ad verecundiam, aksentuasi pada komunikator ketimbang pesan komunikasi juga terjadi. Hanya saja, argumentum ad verecundiam terjadi ketika pernyataan komunikator dibenarkan semata-mata karena sang komunikator dianggap ahli/pakar/orang yang disegani. Ketika seorang tokoh masyarakat menyatakan memilih pasangan Capres/Cawapres tertentu, misalnya, pengikut tokoh itu pun ikut menyatakan memilih pasangan Capres/Cawapres tersebut. Benar/salahnya pernyataan sang tokoh masyarakat itu tidak dipertimbangkan, sehingga kesesatan pikir pun terjadi karena kebenaran/kesalahan pernyataan itu sendiri tidak teridentifikasi.

PENUTUP  

Untuk mengatasi beragam sofistika seperti tersebut di atas, pernyataan Ali ibn Abi Thalib R.A. dapat dijadikan solusi. Sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad S.A.W. menyatakan, “la yu’rafu al-haqqu min ar-rijâl a’rif al-haqqa ta’rif ahlahu”. Kebenaran itu tidak tergantung pada orang per-orang. Ketahuilah kebenaran, niscaya Engkau akan tahu siapa yang benar.  

Untuk mengetahui kebenaran, rasionalitas dan faktualitas merupakan panduan universal. Apakah yang dikatakan masuk akal? Apakah yang dikatakan sesuai dengan kenyataan historis, kekinian dan futuristik? Sejauh dua pertanyaan itu terjawab secara afirmatif, Anda akan tahu kebenaran dan siapa yang benar. []

No comments:

Post a Comment