Jul 7, 2014

DEMOKRASI ALA CA(WA)PRES

Zainul Maarif
Dosen Filsafat @philomaarif

Di Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) tahun 2014 ini, debat calon presiden (capres) dan calon wakil Presiden (cawapres) memperdengarkan tiga definisi demokrasi. Capres Prabowo Subiyanto mendefinisikan demokrasi sebagai “alat untuk mencapai suatu tujuan”. Cawapres Hatta Rajasa merevisi definisi demokrasi pasangannya itu dengan mengatakan “demokrasi bukan sekadar alat, melainkan value (nilai)”. Lalu, lawan mereka berdua, Capres Joko Widodo mengangap demokrasi sebagai “mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya”. 

Tiga definisi tersebut perlu ditinjau ulang. Sebab, definisi tidak hanya menghilangkan ambiguitas, menjernihkan arti, dan menambah perbendaharaan kata, melainkan dapat mempengaruhi sikap juga. Pengaruh definisi pada sikap merupakan hal yang sangat penting dipertimbangkan, terlebih jika yang didefinisikan terkait hajat hidup orang banyak, dan yang mendefisikannya adalah orang yang akan mengejawantahkan definisi itu.  

Demokrasi jelas-jelas terkait dengan seluruh rakyat, bangsa dan negara. Sementara Capres dan Cawapres adalah tokoh-tokoh yang akan memimpin pelaksanaan demokrasi. Jika definisi mereka tentang demokrasi keliru, maka sikap mereka pun pada demokrasi akan keliru. Dan itu membahayakan. Karena itu, ketepatan definisi mereka atas demokrasi yang terkait dengan kita semua sangat penting dan perlu ditinjau.  

Definisi Etimologis dan Logis

Untuk meninjaunya, diperlukan parameter peninjauan. Dalam hal ini, definisi etimologis dan definisi logis atas demokrasi dijadikan sebagai acuan. Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos, yang berarti rakyat, dan kratos, yang berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi, secara etimologis, berarti pemerintahan rakyat.

Secara logis, sesuatu dapat didefinisikan dengan dicari jenis terdekat (genus proximum) dan ciri spesifiknya  (differentia specifica). Jenis terdekat demokrasi adalah sistem pemerintahan orang banyak. Sementara ciri spesifik sistem pemerintahan demokratis adalah sistem itu dikelola oleh rakyat, pengelola sistem itu pun berasal dari rakyat, dan hasil dari sistem itu didedikasikan untuk rakyat. Jadi, definisi demokrasi secara logis adalah sistem pemerintahan orang banyak yang dikelola oleh rakyat, yang berasal dari rakyat, dan diperuntukan bagi rakyat.    

Definisi logis demokrasi itu menampakkan posisi rakyat sangat sentral dalam sistem demokrasi.  Rakyat adalah sumber, pelaku, sekaligus penerima hasil demokrasi. Rakyat berada di awal, di tengah dan di akhir demokrasi. Sehingga, rakyat tidak layak disebut sebagai alat demokrasi. Rakyat adalah tujuan demokrasi, bahkan melampuai tujuan, karena rakyat juga pelaku dan sumber bagi terselenggaranya tujuan demokrasi.

Demokrasi sebagai Alat

Atas dasar itu, tampak jelas bahwa definisi demokrasi ala Prabowo tidak bersentuhan dengan definisi logis demokrasi itu. Definisi yang dibuat Prabowo itu mungkin benar bila yang dibicarakan adalah variabel demokrasi dan negara, di mana mengelola negara adalah tujuan, sedangkan demokrasi hanyalah salah satu sistem alternatif (alat) untuk mengelolanya, di samping sistem-sistem lain seperti aristokrasi dan oligarki. Jadi, demokrasi ala Prabowo adalah alat untuk mengelola negara (tujuan).

Tapi, ketika Prabowo mengatakan semacam itu, Prabowo secara sadar atau tidak sadar telah menimbulkan blunder. Sebab, kata “alat” di situ mengandaikan kesementaraan demokrasi bagi “negara”. Sebagai kesementaraan, demokrasi mungkin diganti dengan sistem lain, seperti pseudo monarki, aristokrasi, dan oligarki. Pernyataan Prabowo itu pun menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutannya dalam menerapkan demokrasi di Indonesia sekiranya dia jadi presiden.   

Identifikasi Prabowo pada demokrasi sebagai “alat” juga bermasalah sejauh demokrasi sangat identik dengan rakyat. Mengatakan “demokrasi adalah alat” bersinggungan dengan pernyataan “demokrasi adalah rakyat” menghasilkan kesimpulan yang mencengangkan, yaitu “rakyat adalah alat”,  karena rumusan argumennya adalah D = A; D = R; Jadi, R = A. Capres yang mengganggap rakyat sebagai alat tentu sangat bermasalah.

Demokrasi sebagai Nilai

Karena definisi Prabowo bermasalah, Hatta Rajasa segera meluruskan definisi Prabowo tadi. Cawapres yang mendampingi Prabowo itu mengatakan “demokrasi bukan sekedar alat, melainkan value (nilai)”. 

Dalam filsafat nilai (axiologi), nilai adalah sesuatu yang disetujui baik secara intrinsik (bernilai pada dirinya) maupun secara instrumental (bernilai untuk yang lainnya). (Kattsoof, 2004: 319-321) Dengan mengatakan demokrasi adalah nilai, Hatta secara implisit hendak menampik kesementaraan demokrasi bagi Indonesia. Dia juga enggan menganggap rakyat sebagai alat. Demokrasi dengan demikian disetujui oleh Hatta sebagai pilihan yang memang bernilai pada dirinya dan/atau untuk yang lainnya (rakyat dan negara).

Namun definisi Hatta itu terdengar abstrak. Hanya orang yang benar-benar terpelajar yang dapat memahami maksudnya. Padahal demokrasi selaku sistem yang berporos pada rakyat seharusnya dipahami oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali. Oleh karena itu, Joko Widodo alias Jokowi yang menyadari tak semua rakyat Indonesia terpelajar, memberi definisi kongkret bagi demokrasi. Capres nomor urut 2 itu mendefinisikan demokrasi dengan “mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya”.

Demokrasi, Rakyat dan Pejabat

Secara logika formal, definisi Jokowi itu tidak sahih. Sebab, defiens (kalimat yang menjelaskan) seharusnya pararel dengan definiendum (kata yang dijelaskan). Sementara di definisi jokowi tersebut definiendum yang kata benda (demokrasi) dijelaskan dengan definien kata kerja (mendengarkan). Jadi, definisi Jokowi itu tidak taat asas definisi logika formal.

Tapi, pada saat yang sama, definisi Jokowi itu justru membuat revolusi pemahaman. Pertama, dia mentransformasikan demokrasi dari posisi statis kata benda ke posisi progresif kata kerja. Dengan progresifitas kata kerja, demokrasi diupayakan terus mengada, secara nyata, dengan kerja seluruh pihak yang terkait dengannya, sesuai posisi masing-masing. 

Bagi Jokowi, rakyat berposisi sebagai pihak yang berbicara kepada pejabat (presiden/gubernur/walikota), sedangkan pejabat berposisi sebagai pihak yang mendengarkan suara rakyat. Rakyat bertugas memerintah pejabat, sementara pejabat bertugas melaksanakan perintah rakyat. Di situ, revolusi pemahaman yang kedua muncul: bahwa posisi rakyat lebih tinggi dari pejabat, dan pejabat harus mengabdi kepada rakyat

Dengan penjungkirbalikan posisi pejabat dan rakyat di demokrasi ala Jokowi itu, rakyat kembali diletakkan di posisi sentral demokrasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa definisi demokrasi ala Jokowi itu cocok dengan teori: definisi demokrasi secara etimologis dan logis di atas. Bahkan definisi yang dibuat Jokowi itu pun cocok dengan kenyataan. Sebab, pejabat negeri ini memang harus disadarkan posisinya sebagai abdi, bukan tuan bagi rakyat. Dan Jokowi menyadarinya dan menyadarkan kita tentangnya, dan telah bahkan masih melaksanakannya. []