Jul 7, 2014

DEMOKRASI ALA CA(WA)PRES

Zainul Maarif
Dosen Filsafat @philomaarif

Di Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) tahun 2014 ini, debat calon presiden (capres) dan calon wakil Presiden (cawapres) memperdengarkan tiga definisi demokrasi. Capres Prabowo Subiyanto mendefinisikan demokrasi sebagai “alat untuk mencapai suatu tujuan”. Cawapres Hatta Rajasa merevisi definisi demokrasi pasangannya itu dengan mengatakan “demokrasi bukan sekadar alat, melainkan value (nilai)”. Lalu, lawan mereka berdua, Capres Joko Widodo mengangap demokrasi sebagai “mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya”. 

Tiga definisi tersebut perlu ditinjau ulang. Sebab, definisi tidak hanya menghilangkan ambiguitas, menjernihkan arti, dan menambah perbendaharaan kata, melainkan dapat mempengaruhi sikap juga. Pengaruh definisi pada sikap merupakan hal yang sangat penting dipertimbangkan, terlebih jika yang didefinisikan terkait hajat hidup orang banyak, dan yang mendefisikannya adalah orang yang akan mengejawantahkan definisi itu.  

Demokrasi jelas-jelas terkait dengan seluruh rakyat, bangsa dan negara. Sementara Capres dan Cawapres adalah tokoh-tokoh yang akan memimpin pelaksanaan demokrasi. Jika definisi mereka tentang demokrasi keliru, maka sikap mereka pun pada demokrasi akan keliru. Dan itu membahayakan. Karena itu, ketepatan definisi mereka atas demokrasi yang terkait dengan kita semua sangat penting dan perlu ditinjau.  

Definisi Etimologis dan Logis

Untuk meninjaunya, diperlukan parameter peninjauan. Dalam hal ini, definisi etimologis dan definisi logis atas demokrasi dijadikan sebagai acuan. Secara etimologis, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos, yang berarti rakyat, dan kratos, yang berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi, secara etimologis, berarti pemerintahan rakyat.

Secara logis, sesuatu dapat didefinisikan dengan dicari jenis terdekat (genus proximum) dan ciri spesifiknya  (differentia specifica). Jenis terdekat demokrasi adalah sistem pemerintahan orang banyak. Sementara ciri spesifik sistem pemerintahan demokratis adalah sistem itu dikelola oleh rakyat, pengelola sistem itu pun berasal dari rakyat, dan hasil dari sistem itu didedikasikan untuk rakyat. Jadi, definisi demokrasi secara logis adalah sistem pemerintahan orang banyak yang dikelola oleh rakyat, yang berasal dari rakyat, dan diperuntukan bagi rakyat.    

Definisi logis demokrasi itu menampakkan posisi rakyat sangat sentral dalam sistem demokrasi.  Rakyat adalah sumber, pelaku, sekaligus penerima hasil demokrasi. Rakyat berada di awal, di tengah dan di akhir demokrasi. Sehingga, rakyat tidak layak disebut sebagai alat demokrasi. Rakyat adalah tujuan demokrasi, bahkan melampuai tujuan, karena rakyat juga pelaku dan sumber bagi terselenggaranya tujuan demokrasi.

Demokrasi sebagai Alat

Atas dasar itu, tampak jelas bahwa definisi demokrasi ala Prabowo tidak bersentuhan dengan definisi logis demokrasi itu. Definisi yang dibuat Prabowo itu mungkin benar bila yang dibicarakan adalah variabel demokrasi dan negara, di mana mengelola negara adalah tujuan, sedangkan demokrasi hanyalah salah satu sistem alternatif (alat) untuk mengelolanya, di samping sistem-sistem lain seperti aristokrasi dan oligarki. Jadi, demokrasi ala Prabowo adalah alat untuk mengelola negara (tujuan).

Tapi, ketika Prabowo mengatakan semacam itu, Prabowo secara sadar atau tidak sadar telah menimbulkan blunder. Sebab, kata “alat” di situ mengandaikan kesementaraan demokrasi bagi “negara”. Sebagai kesementaraan, demokrasi mungkin diganti dengan sistem lain, seperti pseudo monarki, aristokrasi, dan oligarki. Pernyataan Prabowo itu pun menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutannya dalam menerapkan demokrasi di Indonesia sekiranya dia jadi presiden.   

Identifikasi Prabowo pada demokrasi sebagai “alat” juga bermasalah sejauh demokrasi sangat identik dengan rakyat. Mengatakan “demokrasi adalah alat” bersinggungan dengan pernyataan “demokrasi adalah rakyat” menghasilkan kesimpulan yang mencengangkan, yaitu “rakyat adalah alat”,  karena rumusan argumennya adalah D = A; D = R; Jadi, R = A. Capres yang mengganggap rakyat sebagai alat tentu sangat bermasalah.

Demokrasi sebagai Nilai

Karena definisi Prabowo bermasalah, Hatta Rajasa segera meluruskan definisi Prabowo tadi. Cawapres yang mendampingi Prabowo itu mengatakan “demokrasi bukan sekedar alat, melainkan value (nilai)”. 

Dalam filsafat nilai (axiologi), nilai adalah sesuatu yang disetujui baik secara intrinsik (bernilai pada dirinya) maupun secara instrumental (bernilai untuk yang lainnya). (Kattsoof, 2004: 319-321) Dengan mengatakan demokrasi adalah nilai, Hatta secara implisit hendak menampik kesementaraan demokrasi bagi Indonesia. Dia juga enggan menganggap rakyat sebagai alat. Demokrasi dengan demikian disetujui oleh Hatta sebagai pilihan yang memang bernilai pada dirinya dan/atau untuk yang lainnya (rakyat dan negara).

Namun definisi Hatta itu terdengar abstrak. Hanya orang yang benar-benar terpelajar yang dapat memahami maksudnya. Padahal demokrasi selaku sistem yang berporos pada rakyat seharusnya dipahami oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali. Oleh karena itu, Joko Widodo alias Jokowi yang menyadari tak semua rakyat Indonesia terpelajar, memberi definisi kongkret bagi demokrasi. Capres nomor urut 2 itu mendefinisikan demokrasi dengan “mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya”.

Demokrasi, Rakyat dan Pejabat

Secara logika formal, definisi Jokowi itu tidak sahih. Sebab, defiens (kalimat yang menjelaskan) seharusnya pararel dengan definiendum (kata yang dijelaskan). Sementara di definisi jokowi tersebut definiendum yang kata benda (demokrasi) dijelaskan dengan definien kata kerja (mendengarkan). Jadi, definisi Jokowi itu tidak taat asas definisi logika formal.

Tapi, pada saat yang sama, definisi Jokowi itu justru membuat revolusi pemahaman. Pertama, dia mentransformasikan demokrasi dari posisi statis kata benda ke posisi progresif kata kerja. Dengan progresifitas kata kerja, demokrasi diupayakan terus mengada, secara nyata, dengan kerja seluruh pihak yang terkait dengannya, sesuai posisi masing-masing. 

Bagi Jokowi, rakyat berposisi sebagai pihak yang berbicara kepada pejabat (presiden/gubernur/walikota), sedangkan pejabat berposisi sebagai pihak yang mendengarkan suara rakyat. Rakyat bertugas memerintah pejabat, sementara pejabat bertugas melaksanakan perintah rakyat. Di situ, revolusi pemahaman yang kedua muncul: bahwa posisi rakyat lebih tinggi dari pejabat, dan pejabat harus mengabdi kepada rakyat

Dengan penjungkirbalikan posisi pejabat dan rakyat di demokrasi ala Jokowi itu, rakyat kembali diletakkan di posisi sentral demokrasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa definisi demokrasi ala Jokowi itu cocok dengan teori: definisi demokrasi secara etimologis dan logis di atas. Bahkan definisi yang dibuat Jokowi itu pun cocok dengan kenyataan. Sebab, pejabat negeri ini memang harus disadarkan posisinya sebagai abdi, bukan tuan bagi rakyat. Dan Jokowi menyadarinya dan menyadarkan kita tentangnya, dan telah bahkan masih melaksanakannya. []

SOFISTIKA PILPRES

Zainul Maarif
Dosen Filsafat Komunikasi @philomaarif    


Menyaksikan perdebatan seputar Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 ini terasa seperti membaca buku Sofistichal Ellency karya Aristotle, filsuf Yunani (384-322 SM). Banyak “sofistika” di dalamnya, yaitu kesesatan-kesesatan pikir (fallacies), terutama kesesatan relevansi, yaitu kesesatan pikir yang muncul karena ketiadaan hubungan logis antara pokok pikiran (premis) dan kesimpulan.

KESESATAN RELEVANSI

Kesesatan relevansi yang paling dominan tentu saja argumentum ad populum, yaitu pernyataan yang diajukan untuk meyakinkan pendengar dengan mengatasnamakan kepentingan orang banyak, tanpa pembuktian logis, karena yang dituju perasaan pendengar bangkit untuk menerima pernyataan itu. Ada Capres/Cawapres mengaku hendak menghebatkan Indonesia. Ada pula Capres/Cawapres yang mengaku sebagai bagian dari rakyat.

Pengakuan mereka tampak indah, tapi tak selalu benar. Klaim mereka mungkin benar, tapi tak selalu faktual. Karena itu, kampanye-kampanye “bombastis” semacam itu perlu ditinjau ulang kemaksuakalan dan kesesuaiannya dengan kenyataan di masa lalu, masa kini dan masa depan. 

Pertama-tama, apakah pernyataan itu masuk akal? Kedua, apakah pernyataan itu sesuai dengan kenyataan? Karena rasionalitas tidak cukup bagi suatu pernyataan, maka perlu kajian atas faktualitas pernyataan di masa lalu, aktualitas pernyataan di masa kini, dan potensialitas-positif-futuristik pernyataan di masa depan, supaya kita tidak terjebak dalam jerat  argumentum ad populum.

Selain argumentum ad populum, ada dua kesesatan relevansi yang sering mengisi Pilpres ini, yaitu: argumentum ad hominem dan argumentum ad verecundiam. Yang pertama kesesatan pikir yang muncul karena menerima/menolak pernyataan berdasarkan pada kesukaan/ketidaksukaan pada pribadi yang mengatakan, bukan berdasarkan pada pernyataan itu sendiri. Ketika yang mengatakan disukai, maka pernyataannya diterima. Ketika yang mengatakan tidak disukai, maka pernyataannya ditolak. Suka/tidak suka di situ sangat bersifat personal bahkan kadang irasional sehingga kebenaran/kesalahan pernyataan yang muncul kabur. Di argumentum ad hominem, suka/tidak suka terhadap komunikator menjadi dasar pembenaran/penolakan pesan komunikasi.

Di argumentum ad verecundiam, aksentuasi pada komunikator ketimbang pesan komunikasi juga terjadi. Hanya saja, argumentum ad verecundiam terjadi ketika pernyataan komunikator dibenarkan semata-mata karena sang komunikator dianggap ahli/pakar/orang yang disegani. Ketika seorang tokoh masyarakat menyatakan memilih pasangan Capres/Cawapres tertentu, misalnya, pengikut tokoh itu pun ikut menyatakan memilih pasangan Capres/Cawapres tersebut. Benar/salahnya pernyataan sang tokoh masyarakat itu tidak dipertimbangkan, sehingga kesesatan pikir pun terjadi karena kebenaran/kesalahan pernyataan itu sendiri tidak teridentifikasi.

PENUTUP  

Untuk mengatasi beragam sofistika seperti tersebut di atas, pernyataan Ali ibn Abi Thalib R.A. dapat dijadikan solusi. Sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad S.A.W. menyatakan, “la yu’rafu al-haqqu min ar-rijâl a’rif al-haqqa ta’rif ahlahu”. Kebenaran itu tidak tergantung pada orang per-orang. Ketahuilah kebenaran, niscaya Engkau akan tahu siapa yang benar.  

Untuk mengetahui kebenaran, rasionalitas dan faktualitas merupakan panduan universal. Apakah yang dikatakan masuk akal? Apakah yang dikatakan sesuai dengan kenyataan historis, kekinian dan futuristik? Sejauh dua pertanyaan itu terjawab secara afirmatif, Anda akan tahu kebenaran dan siapa yang benar. []

Jul 5, 2014

MUHAMMAD DAN MAKKAH

Zainul Maarif
Dosen filsafat, alumni Universitas Al-Azhar, Mesir.

Sebelum Muhammad S.A.W. diutus sebagai nabi dan rasul, Makkah adalah sarang elite-elite biadab. Mereka memperkaya diri tanpa peduli orang lain. Pundi-pundi pribadi dipenuhi, diperbesar, tanpa mengalir kepada liyan. Kemanusiaan adalah hal yang mereka abaikan. Orang lemah diperbudak, bahkan disiksa dan dibunuh, jika melawan.

Ketika Allah S.W.T. mengutus Muhammad S.A.W. menjadi nabi, "revolusi budi pekerti" menjadi pokok utama publikasi. “Innamâ bu’itstu li utammima makârim al-akhlâq”, sabda Nabi. Aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak mulia.

Nabi Muhammad S.A.W. tak hanya bicara. Yang dilakukan sesuai dengan yang dikatakan, bahkan tingkah lakunya adalah cerminan dari Alquran (kâna khuluquhu al-qurân). Sejak belum mendapat wahyu, Muhammad sudah dikenal sebagai orang yang dapat dipercaya (al-amîn). Putra Abdullah itu jujur, sederhana, pekerja keras, dan merakyat. Orang-orang lemah (al-mustadl’afîn) adalah pihak yang senantiasa didekati dan dibela hak-haknya. 

Sedikit demi sedikit pengaruh Nabi Muhammad S.A.W. menguat di kalangan rakyat miskin Makkah. Para elite Makkah pun gerah. Tokoh-tokoh seperti Abu Jahal, Abu Lahab, dan Abu Sufyan mengintimidasi orang-orang kecil yang mengikuti Nabi Muhammad S.A.W., seperti Bilal. Elite kaum Quraisy menyebarkan isu kebohongan Nabi Muhammad S.A.W., padahal mereka sendiri yang pembohong.  

Meski diserang, Nabi Muhammad S.A.W. dan para pengikutnya tetap kukuh pendirian. Mereka mempraktekkan dan mewartakan kebaikan dan kebenaran. Mereka tak membalas fitnah dengan fitnah, karena jika keburukan itu dilakukan, maka mereka akan sama-sama buruk dengan Kaum Quraisy. Tapi mereka tetap “melawan” keburukan yang diperbuat orang-orang buruk itu dengan menyatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, secara apa adanya.  

Di Mekkah yang dikuasai elite-elite busuk itu, kebaikan memang tampak terkucil, sementara keburukan dipuja-puja. Yang baik dianggap buruk. Yang buruk dianggap baik. Kebaikan diusung oleh orang jujur dan sederhana, yang didukung oleh rakyat jelata. Sementara keburukan direpresentasikan dan disebarkan oleh para durjana kaya raya yang selama ini menguasai kancah politik dan ekonomi, dan dibela oleh orang-orang yang lupa.


Walau begitu, Nabi Muhammad S.A.W. yang terus konsisten dalam kebaikan dan kebenaran, akhirnya unggul daripada Abu Jahal dkk. Di Fath al-Makkah (pembebasan kota Mekkah), Rasulullah S.A.W. dibantu oleh Allah, seperti tercatat di Alquran surat An-Nashr. Orang-orang berbondong-bondong mengikuti Nabi Muhammad S.A.W.  Lalu, kebaikan menggantikan keburukan di kota Mekkah. []

Jul 4, 2014

KAMPANYE POSITIF-FAKTUAL-RASIONAL*

Oleh Zainul Maarif, Dosen Filsafat Komunikasi @philomaarif

Akhir-akhir ini, kehidupan privat dan publik kita digaduhi oleh kampanye politik. Beragam orang berbicara politik, bahkan ada yang ‘mendadak politik’. Pelbagai media pun memaparkan kampanye politik, terutama media sosial, yang ‘mengjaelangkungkan’ politik, bahkan ‘meng-omnipresent-kannya’.

‘Keserbahadiran’ kampanye politik yang cenderung ‘datang tak diundang’ itu pada titik tertentu menarik kita hanyut ke dalamnya. Awalnya, kita mungkin hanya komunikan (penerima kampanye), tapi kemudian menjadi komunikator (pengujar kampanye). Setelah kita masuk ke dalam pusaran kampanye, kadang objektivitas kita kandas, akal kita tumpul, pikiran kita keruh, dan tindakan kita kacau.

Alih-alih turut serta masuk ke dalam labirin itu, penulis mengajak pembaca untuk melakukan distansisi: menjaga jarak dari kampanye politik, dan meninjau ulang apa itu kampanye, supaya pikiran dan tindakan kita kembali jernih. 

Kampanye Positif/Negatif

Kampanye dapat didefinisikan sebagai bujukan pada orang lain untuk memilih sesuatu dan/atau menolak sesuatu lain. Bujukan untuk memilih sesuatu dapat disebut dengan kampanye positif. Bujukan untuk menolak yang lain dapat disebut dengan kampanye negatif. Jadi, kampanye, secara sederhana, dapat dikategorikan menjadi dua: kampanye positif dan kampanye negatif.

Kampanye positif dilakukan dengan menunjukkan sisi baik sesuatu untuk dipilih. Kampanye negatif dilancarkan dengan menunjukkan sisi buruk hal lain untuk ditolak. ‘Positif’ di sini identik dengan kebaikan, pilihan, dan diri; sedangkan ‘negatif’ identik dengan keburukan, penolakan, dan liyan (orang lain). Sehingga, kampanye dapat dikatakan sebagai perseteruan antara diri dan liyan, antara kebaikan dan keburukan, di mana diri dan kebaikan diharapkan untuk dipilih, sementara liyan dan keburukan diharapkan untuk ditolak.

Tapi, sejatinya, diri tak selalu baik. Liyan pun tak selalu buruk. Yang ada pada diri tak selamanya layak dipilih. Yang ada pada liyan tak selamanya layak ditolak. Keburukan terkadang melekat pada diri, sebagaimana kebaikan kadang berada pada liyan. Sehingga, sering kali, yang terjadi pada kampanye hanyalah ‘klaim’ tentang diri sebagai representasi kebaikan, dan ‘klaim’ tentang liyan sebagai perwakilan keburukan. Selaku klaim, sumber kampanye mungkin fakta, mungkin juga fiksi. Sehingga, kampanye dapat dimasukkan ke dua kategorika lain: kampanye faktual dan kampanye fiktif.

Kampanye Faktual/Fiktif

Kampanye faktual adalah kampanye yang bersumber dari hal-hal yang benar-benar terjadi. Sedangkan kampanye fiktif adalah kampanye yang bersumber dari data rekayasa imajinasi. Karena berdasarkan pada fakta yang sebenarnya, kampanye faktual tentu lebih benar daripada kampanye fiktif. Kampanye fiktif mungkin lebih kreatif daripada kampanye faktual. Tapi karena kampanye politik mendambakan kebenaran bukan hiburan, maka kampanye fiktif tak selayaknya diselenggarakan. Kampanye faktuallah yang seharusnya dikemukakan.

Kampanye faktual menghadirkan kebenaran yang disebut epistemologi dengan korespondensi. Yaitu, parameter kebenaran yang mengharuskan kesesuaian pernyataan dengan kenyataan. Sejauh kenyataan mendukung pernyataan, maka suatu pernyataan dinyatakan benar. Seharusnya, kampenye politik didasari dan dinilai dengan kebenaran korespondensi semacam itu. Bahkan, sebaiknya, kampanye politik tak hanya koresponden, tapi juga koheren.

Kampanye Rasional/Irasional

Kampanye koheren adalah kampanye yang didasari oleh rasionalitas konsisten. Satu pernyataan diharapkan masuk akal, dan selaras dengan pernyataan lain, bukan malah bertolak belakang. Dengan kata lain, kampanye koheren adalah kampanye rasional: kampanye yang bersumber dari dan dapat ditinjau ulang dengan akal.

Kampanye rasional didasari oleh logika yang waspada dalam membuat pernyataan (kalimat berita/proposisi). Setiap pernyataan, secara logis, memiliki unsur term subjek dan term predikat (S-P). Kadang hubungan antara kedua term itu mengiya (afirmatif [S = P]), kadang menidak (negatif [S # P].

Untuk membuat dan meninjau pernyataan secara logis, pertama-tama definisikan setiap term, dengan menjawab pertanyaan: “apa itu ‘S’?”dan “Apa itu ‘P’”. Dalam mendefinisikan term, pastikan definisi itu  jelas (clear)  dan terbedakan (distint); mencakup semuanya (jâmi’) dan mengelurkan yang bukan bagiannya (mâni’). Setelah term terdefinisikan, pertanyakan hubungan antar-term tersebut dengan menjawab pertanyaan “apakah S = P” atau “apakah S # P?”. 

Contohnya, kampanye yang menyatakan “fulan adalah pembela HAM (Hak Asasi Manusia) (S = P)”. Sang komunikator pertama-tama harus mendefinisikan “apa itu pembela HAM?” (apa itu ‘P’?) dan “siapa itu fulan” (siapa itu ‘S’?), secara clear, distint, jâmi’ dan mâni’. Jika tidak, komunikan akan dengan mudah meruntuhkan pernyataannya.  

Sebaliknya, jika definisi universal bagi term “pembela HAM” telah dicapai, dan “fulan” pun telah diidentifikasi dengan tepat, maka pertanyaan kedua perlu dijawab “apakah hal itu seperti itu?”, “apakah S adalah P”, “apakah fulan itu pembela HAM?” Bila masing-masing dari subjek dan predikat sudah didefinisikan dengan benar, dan kedua term itu pun berhubungan secara afirmatif, maka pernyataan di atas menjadi benar secara koheren dan rasional. Sebaliknya, bila ternyata tidak ada hubungan yang jelas antara subjek dan predikat, setelah subjek dan predikat didefinisikan, maka pernyataan tersebut menjadi rancu. Itu sekedar contoh, berkampanye, bahkan kontra-kampanye, secara logis-rasional-koheren.

Lawan dari kampanye rasional adalah kampanye irasional. Yaitu, kampanye yang membabi buta mencintai diri sendiri dan/atau jagoan yang didukung, sekaligus membenci liyan dan/atau lawan yang ditolak. Kampanye irasional hanya dilakukan oleh bodoh (atau orang ‘pintar’ tapi tidak taat pada prinsip ‘kebenaran’), dan menghasilkan kebodohan. Kampanye irasional, acapkali berisi fitnah, jauh dari fakta, dan akal sehat, oleh karena itu, seyogianya dihindari.

Penutup    

Dalam kampanye politik yang hingar bingar ini, penulis berharap komunikator dan komunikan kampanye menyadari jenis kampanye yang sedang dikomunikasikan, bahkan memilih jenis kampanye yang ideal.

Seharusnya komunikator dan komunikan kampanye politik menghindar dari kampanye negatif-fiktif-irasional. Sebab, kampanye negatif hanya memenuhi ruang publik dengan keburukan. Kampanye fiktif menjejali audien dengan karangan yang jauh dari fakta. Dan kampanye irasional hanya menghadirkan orang sesat yang menyesatkan.    

Sebaliknya, komunikator dan komunikan kampanye politik seharusnya menerapkan dan mendekat pada kampanye positif-faktual-rasional. Dengan kampanye positif-faktual-rasional yang tampak hanyalah kebaikan-kebaikan penuh harapan, yang punya landasan kenyataan, dan mendorong semua pihak menjadi cerdas dan mencerdaskan. []

*Artikel ini telah dipublikasikan di rubrik Pendapat, Koran Tempo, 13 Juni 2014, h. 14

Mar 22, 2014

Retorika: Metode Komunikasi Publik


Judul: RETORIKA Metode Komunikasi Publik
Penulis: Zainul Maarif
Tahun terbit: Februari 2014
Jumlah halaman: xii + 176 halaman
Ukuran: 14,8 x 21 cm
Genre: Referensi
ISBN: 978-602-1615-72-0
Pemesahan hubungi: www.dapurbuku.com

Sinupsis: 

Manusia adalah rhetorical being: pengada retoris. Sehari-hari, manusia dituntut beretorika karena keniscayaan untuk berbicara baik dalam bermasyarakat. Ketika pengelola masyarakat cenderung represif, manusia perlu beretorika supaya bisa bertahan hidup bahkan melawan. Begitu pula saat masyarakat dalam kondisi demokratis, manusia membutuhkan retorika untuk tampil menonjol di tengah rimba keragaman yang penuh persaingan. Retorika dengan demikian menjadi kebutuhan penting manusia.
Retorika yang dimaksud adalah metode komunikasi publik dengan media lisan atau tulisan yang berupaya membujuk audien untuk meyakini bahkan melakukan sesuatu yang dianggap baik di masa kini dan masa mendatang. Bujukan itu diterapkan dengan menampakkan kredibilitas komunikator (ethos), mengenali emosi dan karakter komunikan (pathos), serta memformat pesan yang masuk akal (logos). Untuk menghasilkan retorika yang lebih matang diperlukan pencarian data (inventio), penyusunan data (dispositio), pemilihan gaya penyampaian (elocutio), penghapalan poin-poin penting yang hendak diutarakan (memoria), dan penyampaian pesan itu sendiri dengan memperhatikan bahasa non-verbal, di samping bahasa verbal (pronuntiatio).
Di buku ini, retorika yang sedemikian rupa dibahas dari akarnya. Buku-buku induk retorika dijadikan sebagai rujukan utama: mulai dari buku karya bapak retorika, Aristotle; buku filsuf-orator Romawi, Marcus Tillius Cicero; buku penggagas gerakan Bellestristik, Hugh Blair; buku kompilator seni menghapal dalam retorika, Frances Yates; hingga buku tokoh yang mengaksentuasikan penyampaian retorika, Gilbert Austin.
Dengan dasar yang kuat itu, buku retorika ini merupakan bacaan penting bagi para orator, para penulis, pengkaji komunikasi—baik peneliti, dosen, maupun mahasiswa komunikasi—dan siapa saja yang ingin berbicara di hadapan orang banyak dan/atau menulis untuk masyarakat luas.