Jul 24, 2013

Pos-Oksidentalisme: Identitas dan Alteritas Pos-Kolonial


JUDUL                        : Pos-Oksidentalisme: Identitas dan Alteritas Pos-Kolonial
PENULIS                    : Zainul Maarif
PENERBIT                  : Dapur Buku, Jakarta
TAHUN                       : 2013
ISBN                           :  978-602-7749-85-6
KATA KUNCI           : Judul, Filsafat Sosial-Budaya, Orientalisme, Oksidentalisme, Diri/Subjek, Liyan,                                           Hassan Hanafi, Dekonstruksi
KATA PENGANTAR : K.H. Abdurrahman Wahid (Presiden RI ke-4)
HARGA                       : Rp. 40.000

SINOPSIS (1):

Secara kultural, bangsa yang pernah dijajah  memiliki persoalan  kompleksitas perumusan identitas dan alteritas. Siapa aku (diri/self/al-ana), siapa liyan (yang lain/other/al-akhar), dan bagaimana relasi diri dan liyan, menjadi pertanyaan besar pos-kolonial. 

Orientalisme pernah mendefinisikan diri dan liyan pos-kolonial. Namun definisinya dianggap bernuansa kolonial, sehingga ditolak. 

Oksidentalisme dimunculkan pihak pos-kolonial untuk menjawab permasalahan di atas. Tapi jawabannnya dinilai tak lebih dari orientalisme terbalik dengan kadar lebih rendah.

Karena itu, buku ini menghadirkan gagasan yang berusaha melampaui orientalisme dan oksidentalisme, bernama Pos-Oksidentalisme. Ia berupaya mendefinisikan diri dan liyan pos-kolonial, yang bernuansa inklusif, kritis dan tentatif, serta berorientasi pada keselarasan dengan multikulturalitas di era global. 

SINOPSIS (2): 

Buku ini, secara umum, membahas kegalauan setiap manusia, yang notabene selalu mencari dan membentuk identitas sambil meraba-raba posisi liyan yang berelasi denganya. Secara khusus dia membahas persoalan masyarakat yang pernah dijajah dalam merumuskan diri dan liyannya. 

Buku ini terdiri dari tiga tulisan yang saling terkait: 
1. Pos-Oksidentalisme: Kritik atas Oksidentalisme Hassan Hanafi (tesis magister filsafat di Universitas Indonesia, 2007),
2. Orientalisme dan Oksidentalisme: Kajian atas Liyan (makalah yang disampaikan di Komunitas Filsafat, Komunitas Salihara, 2010), dan
3. Diri dan Ragam Budaya (makalah yang aslinya berbahasa Inggris yang disampaikan di Baku International Humanitarian Forum, Azerbaijan, 2012)

Tulisan pertama mengkritik Oksidentalisme Hassan Hanafi (filsuf Arab Islam kontemporer) dengan metode dekonstruksi Derridean, sambil mendefinisikan diri dan liyan pos-kolonial. Untuk tulisan yang pertama ini, almarhum KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden Republik Indonesia ke-4 memberi kata pengantar 

Tulisan kedua mengkritik Orientalisme dan Oksidentalisme, sampai memberikan perspektif tentang bagaiamana seyogianya memposisikan liyan. 

Tulisan ketiga mendefinisikan diri di hadapan keragaman budaya sambil memperkenalkan konsep diri yang inklusif, kritis dan tentatif (ICT Identity).

Dengan buku ini, diharapkan kegaluan individu dan masyarakat pos-kolonial seperti tersebut di atas dapat diatasi.

Jun 24, 2013

Filsafat Komunikasi Habermas

Sumber: @philomaarif #habermas

Habermas adalah filsuf kontemporer yg mengubah arah filsafat, sekaligus cara berpikir, bertindak dan bermasyarakat. Dia filsuf Jerman kontemporer yang mengangkat bahasa dan intersubjektifitas di ranah filsafat.

Pra Habermas, filsafat cenderung subjektif. Pasca Habermas, intersubjektifitas dikemukakan. Dialog ditekankan, ketimbang monolog.

Habermas menekankan intersubjektifitas dialogis seiring dengan posisi manusia sebagai hewan sosial. Sejauh manusia selalu perlu pihak lain, manusia harus bersosial, lalu berpolitik, dan tentu saja beretika dalam interaksi tersebut. Dalam bersosial, berpolitik dan berpolitik, manusia perlu rasio. Rasio perlu bahasa. Di situlah, peran penting bahasa bagi manusia.

Bahasa berfungsi jika dikomunikasikan. Komunikasi bergerak menuju kesepakatan. Sementara kesepakatan selalu perlu liyan. Jadi, bahasa dan sosial selalu berdialektika.

Kalau bahasa dan komunikasi bertujuan pada kesepakatan, bagamaimana kesepakatan itu diraih? Habermas menjawabnya dengan konsep fungsi-fungsi bahasa dan diskursus

Ada tiga unsur dan fungsi bahasa versi Habermas yg terinspirasi oleh Buhler. Tiga unsur bahasa tersebut adalah pembicara, pendengar, dan objek. Fungsi bahasa pada pembicara adalah ekspresi. Fungsi bahasa pada pendengar adalah bujukan. Fungsi bahasa pada objek adalah kognisi.

Diskursus adalah sarana untuk mencapai konsensus (kesepakatan) dengan memenuhi syarat keabsahan yg terkait dengan fungsi bahasa tersebut. Suatu diskursus dianggap sah bila perkataannya benar dan tepat untuk audien, serta disampaikan oleh orang yang terpercaya.

Artinya diskursus menuju konsensus perlu kebenaran teoritis tentang objek pembicaraan yang disampaikan dari proses kognitif. Diskursus menuju konsensus juga perlu ketepatan pembicaraan untuk audien yg diformat dengan bujukan estetik. Dan diskursus menuju konsensus harus disampaikan oleh pembicara yg terpercaya secara etis dalam mengekspresikan pembicaraannya. Jadi, diskursus menuju konsensus perlu unsur teoritis, etis dan estetis sekaligus, yang disampaikan dengan kognisi, ekspresi dan persuasi.

Itu syarat internal bagi konsensus yang ada di diskursus. Adapun syarat eksternal konsensus adalah tersedianya ruang publik. Ruang publik adalah kawasan yang dapat diakses oleh semua orang dalam kesetaraan. Pendahulu habermas menganggapnya semacam mitos. Ruang publik, seperti parlemen dan media massa, pada prakteknya memang tak sungguh-sungguh publik, karena hanya diakses orang-orang tertentu. Kepemikan harta/pendidikan jadi salah satu syarat laten memasuki ruang publik, sehingga kepublikan 'ruang publik' dipertanyakan.

Jika pendahu Habermas cenderung pesimis pada keberadaan ruang publik, maka Habermas justru optimis: ruang publik harus diupayakan benar-benar ada. Sebab, ruang publik adalah ruang yang memungkinkan keseteraan semua orang dalam kehidupan sosial. Cara untuk menjaga ruang 'publik' tetap milik publik adalah dengan menggiatkan dialog intersubjektif yang kritis.

Kritik bisa menyasar pada sisi eksternal atau sisi internal objek yg dikritik. Dalam hal ini, Habermas lebih menekankan kritik internal (kritik imanen), yaitu tinjauan yg menelusup ke dalam objek kritikan dengan cara mengikuti alur argumentasinya lalu menunjukkan kekeliruannya.

Habermas menerapkan kritik imanen terhadap ideologi, yaitu sesuatu yg dipercaya secara umum. Karena itu kritiknya disebut kritik ideologi. Selain mengkritik ideologi dia juga mendorong dialog intersubjektif untuk menjaga ruang publik melalui pewedaran diskursus menuju konsensus sebagaimana dibahas tadi. Inti gagasannya dalam hal ini adalah anjuran untuk menjaga menjaga ruang publik tetap publik, dengan menyelenggarakan dialog intersubjektif yg kritis, demi hidup bersama dengan baik.

Robillard's Philosophy of Communication: Slide

Robillard criticized cybernetics paradigm in the field of communication and information. My slide on his philosophy of communication is here.

Littlejohn's Philosophy of Communication: Slide

Littlejohn said that the nature of commmunication has been formulated by communication theory. The philosophy of commmunication, then, criticizes its formulation and shows other probabilities. My slide on Littlejohn's Philosophy of Communication is here.

Arneson's Philosophy of Communication: Slide

Arneson said that postmodern condition is similar to Greece condition in the fifth century BC. People who lived at both times require paideia:  the combination of philosophy and communication (rhetoric and poetic). 
My slide on his philosophy of communication is here.


Fisher's Philosophy of Communication: Slide

Fisher said that human being is homo narrans, and this life is narration. The ability to narrate or to communicate goodly, then, becomes human's conditio sine qua non.
My slide on his philosophy of commmunication is here

Habermas's Philosophy of Communication: Slide

Habermas puts communication in important positions in philosophy.
He makes consensus as the goal of communication, which is achieved by discourse.
My slide on his philosophy of communication is here.

Heidegger's Philosophy of Communication: Slide

Heidegger criticized the mass media with the concept of Dasman, Dasein, Ge-Stell, Idle Talk, and Intersubjectivity. My slides on his criticism is here




Apr 24, 2013

Estetika: Filsafat Keindahan


Estetika adalah cabang dari aksiologi yang membahas tentang nilai keindahan. Ketika dipertanyakan apa itu indah dan apa pula ukurannya, muncul beberapa jawaban.

Pertama, indah itu sesuatu yang nikmat menurut panca indera. Itu jawaban George Santayana di buku The Sense of Beauty: Being the Outline of Aesthetic theory, (New York: Dover Publication, 1955). Sesuatu yang nikmat dipandang, didengar, dicium, dikecap, atau diraba, itulah yang indah. Jika salah satu panca indera mencerap kenikmatan dari suatu objek, maka objek tersebut layak diberi atribut yang indah.

Di situ, yang indah bersifat inderawi dan erat hubungannya dengan hal-hal ragawi. Jika yang dipersoalkan adalah kecantikan perempuan, misalnya, maka yang cantik adalah yang nikmat secara inderawi. Yang cantik adalah yang enak dilihat mata, beraroma wangi, bersuara merdu, dan berkulit halus.    

Parameter keindahan semacam itu memang mudah untuk disepakati. Tapi jika kenikmatan inderawi dijadikan satu-satunya ukuran keindahan, maka keraguan mencuat.

Sebagaimana dimaklumi yang ragawi bersifat sementara. Yang inderawi sering kali menipu. Keindahan yang ragawi dan inderawi, dengan kata lain, tidak abadi dan terkadang tidak jujur. Keindahan yang sementara memudahkan kemunculan rasa bosan. Keindahan yang bohong memuakkan kesadaran. Di situ, keindahan versi inderawi dan ragawi yang diusung antara lain oleh Santayana punya kelemahan.

Untuk apa perempuan bertubuh cantik menurut panca indera namun bodoh? Demikian kurang lebih kritikan untuk parameter kecantikan ragawi-inderawi. Perempuan yang memiliki fisik sempurna tapi tidak dapat berfikir rasional perlu dipersoalkan kecantikannya.

Adalah Jacques Maritain, salah seorang yang menekankan keindahan pada sisi rasionalitas. Di buku The Philosophy of Art, (Sussex: Dominic’s Press, 1947), Maritain menegaskan bahwa yang indah adalah yang rasional. Sesuatu disebut indah jika masuk akal. Seni yang indah adalah seni yang tidak bertentangan dengan akal sehat. Perempuan yang cantik adalah perempuan yang terampil menggunakan akalnya dan dapat diajak berinteraksi secara rasional.

Yang indah secara rasional punya kemungkinan untuk tidak indah secara inderawi. Perempuan yang berfisik tidak sempurna layak dinyatakan cantik jika cerdas dan cermat. Sebaliknya perempuan bertubuh ideal disebut jelek jika dungu. Hal itu terkait dengan pengarusutamaan pada unsur pikiran daripada unsur ragawi-inderawi.

Tapi yang rasional belum tentu nyaman di hati. Seperti kritikan pedas, meski menyatakan kebenaran, kadang menyakitkan hati. Demikian pula seni yang rasional sering kali justru menggundahkan hati. Di situ keindahan rasional dipersoalkan.

Benedetto Croce lebih mengutamakan intuisi daripada rasionalitas dalam mengidentifikasi keindahan. Di buku The Essence of Aesthetics, (London: William Heinemann, 1931), Croce menekankan pada keindahan intuitif. Yang indah adalah sesuatu yang nyaman di hati dan sulit diungkapkan dengan kata-kata. Perempuan yang cantik adalah perempuan yang menentramkan kalbu, meski mungkin tubuhnya tidak ideal, otaknya pun tidak pintar. Bahasa kalbu merupakan ukuran bagi bagus dan jeleknya sesuatu.

Parameter keindahan intuitif tentu cenderung bernuansa subjektif. Ia berlaku pada seseorang tapi tidak pada orang lain. Sementara parameter keindahan inderawi dan rasional lebih mudah untuk diterima banyak orang daripada parameter keindahan intuitif. Yang dianggap indah oleh sepasang mata, punya kemungkinan besar untuk diafirmasi keindahanannya oleh sepasang mata lain. Demikian pula yang masuk akal akan mudah diterima oleh akal mana pun.

Namun yang jadi persoalan apakah keindahan rasional, keindahan inderawi dan keindahan intuitif tersebut berguna dalam kehidupan nyata? Bagi John Dewey di buku Art as Experience, (New York: Perigee Books 1934) yang indah harus berkisanambungan dengan pengalaman hidup.

Seni dianggap indah jika memberi solusi bagi keberadaan manusia di muka bumi. Jika puisi, misalnya, hanya bermain dengan kata-kata, maka puisi tersebut tak layak disebut seni, apalagi seni indah. Demikian pula seni semacam prosa misalnya, tak pantas disebut seni indah, meski ketat dalam tataran logika. Dan perempuan yang bertubuh ideal, berpikiran cemerlang, dan menentramkan batin, tidak bisa disebut perempuan cantik jika tidak bisa diajak mengarungi hidup yang sering penuh onak dan duri. Singkat kata, keindahan harus berbanding lurus dengan kemanfaatan hayati sehari-hari. Yang indah, dengan kata lain, harus pragmatis. 

Sampai batas ini, teori keindahan yang satu tampak berseberangan dengan teori keindahan yang lain. Yang indah menurut orang empiris tidak indah menurut orang rasionalis. Yang indah bagi orang intuitif tidak dianggap indah oleh orang pragmatis.  

Alih-alih memposisikan keempat estetika tersebut secara berhadap-hadapan, penulis cenderung untuk mensintesiskannya. Keindahan paripurna terdapat pada sesuatu yang nikmat secara inderawi, mantap secara rasional, nyaman secara intuitif, dan bermanfaat secara pragmatis. Misalkan keindahan itu dilekatkan pada perempuan, maka perempuan yang indah adalah perempuan yang bertubuh ideal, cerdas, menentramkan hati, dan dapat diajak hidup bersama dalam suka dan duka.

Keindahan semacam itu memang keindahan yang sangat ideal, namun mungkin untuk dicapai. Sejauh sesuatu hendak disebut benar-benar indah, sesuatu harus lulus ujian empiris, rasional, intuitif dan pragmatis sekaligus. (Zainul Maarif, Jakarta, 24 April 2013)

Apr 17, 2013

Aesthetics: Slide

Sometimes you say "it is beautiful", "it is art". Do you know what do you mean by those statements? What is the measure to say something is beautiful? What is the paramater of something called art? When you attemp to answer it, you are entering aesthetics domain.
The following is slides about aesthetics (in Indonesian language).

Apr 15, 2013

Islamic Ethics: slide

We need common good for living goodly in this world. Every religion come with ethics to realize the common good. Herewith I share slides concerning Islamic ethics (in Indonesian language)
You may read it here.

Apr 8, 2013

Ethics: slide

Ethics is a branch of practical philosophy answering the questions: what is good and what is evil.

You may read the slide about ethics by clicking this. (in Indonesian language)



Axiology: Slide


All of us always make a value. But not all of us know what is value, and does our value is justified.

In the slides below, I describe a theory of value namely Axiology (in Indonesian language).

To read the slide, please click here.

Apr 7, 2013

Epistemology: slide

A slide about theory of knowledge (epistemology) which discuss the sources, the methods, and the parameters of knowledge. (in Indonesian language).

To take the slide please click here.



Metaphysics/Ontology: Slide

A slide on Metaphysics/Ontology: philosophy of being which discuss about its definition, its methods, and its concepts (Indonesian language).

To take the slide, please click here


Metaphilosophy: Slide

A slide about Metaphilosophy, which answer what is philosophy and how to philosophize (Indonesian language).
To take the slide, please click here


Philosophy of Communication: Syllabus

Herewith the syllabus of The Philosophy of Communication (in Indonesian language).
Lecture slides will be displayed in this blog in Indonesian.
But the explanation of the classes will be written here in English, and can be translated into other languages​​.

To take the syllabus, please click here


Apr 3, 2013

E Pluribus Unum


Para  audien yang saya hormati 

Saya sangat senang dapat hadir di forum ini. Di kesempatan ini kita akan membincangkan tentang pluralisme. Karena latar belakang saya adalah dosen filsafat, maka mohon dimaklumi jika nanti nuansa filosofis akan masuk dalam perbincangan kita. Minimal nuansa filosofisnya berupa banyak pertanyaan yang akan kita elaborasi bersama-sama.

Keragaman

Pertanyaan pertama yang perlu dijawab: apa itu pluralisme?

Pluralisme adalah paham yang mengafirmasi keragaman yang ada. Yang ada terutama yang benar-benar ada dan yang nyata di ruang dan waktu itu banyak.

Coba perhatikan sekeliling kita! Yang duduk di samping Anda beragam bukan? Ada pria, ada wanita, dan mungkin ada waria. Ada yang sudah bekerja, ada pula yang belum bekerja. Ada yang sudah punya istri, ada yang sudah punya pacar, ada juga yang jomblo. Ada yang kuliah di jurusan ilmu budaya, ilmu politik, ilmu eksakta, ilmu seni dan lain sebagainya. Ada orang Betawi, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Bugis, Padang, Batak dan lain sebagianya. Ada yang orang Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu, penganut kepercayaan lokal, penganut selain agama resmi di Indonesa, atau mungkin tidak beragama dan tidak bertuhan. 

Itu di luar diri kita. Di dalam diri kita juga terdapat keragaman, baik dari segi fisik maupun dari segi non-fisik. Secara fisik, tubuh kita ini punya unsur-unsur yang memiliki nama dan fungsi masing-masing, dari atas sampai bawah, dari luar sampai dalam. Psikis kita juga punya beragam cara untuk muncul. Kadang ia rasional, kadang religius, kadang melankolis, kadang tegar, dan lain sebagainya. Jadi, bisa disimpulkan bahwa kenyataan di luar dan di dalam diri kita menyatakan adanya keragaman. 

Tapi adakah kesatuan dalam keragaman itu?

Ada kesatuan dalam keragaman. Di dalam diri kita, kita dapat menyebut psikis dan fisik yang beragam itu dengan satu nama orang. Berbagai suku dapat disebut sebagai satu bangsa. Berbagai kepercayaan bisa sama-sama ditandai sebagai agama atau ideologi. Artinya keragaman itu dapat disatukan.  

Kesatuan 

Tapi coba perhatikan kesatuan dari keragaman itu! Apakah kesatuan itu sesuatu yang empiris atau rasionalis? Sesuatu yang materiil atau simbolis?

Nama orang, bangsa, agama, ideologi dan kesatuan-kesatuan serupa itu, lebih bersifat simbolis dan ditangkap oleh rasio.

Secara fisik, kesatuan itu tidak ada. Ia lebih bersifat metafisik ketimbang fisik. Dalam bahasa ontologi, ia merupakan esensi: hakekat dari suatu substansi yang dapat eksis dalam pluralitas. Esensi itu dapat ditangkap oleh rasio. Karena itu, tak mengherankan jika Benedic Anderson menyebut bangsa sebagai komunitas yang diimajinasikan (nation is imagined community).

Artinya, bangsa, demikian juga agama, suku dan diri itu sesuatu yang diimajinasikan. Ia hasil dari pikiran. Sifatnya ideal. Tapi, sebagai esensi, ia belum tentu nyata dalam ruang dan waktu. Eksistensinya meruang dan mewaktu jika terus-menerus dipikirkan. Itulah salah satu tugas kita dalam menyatukan keragaman di dalam diri dan luar diri kita. 

Persoalan Kesatuan dan Keragaman

Tapi apakah kesatuan dan/atau keragaman bebas dari persoalan? Mari kita tinjau ulang.

Penyatuan Itu bisa berlaku represif. Di ranah berbangsa dan bernegara, Indonesia pernah mengalami hal itu di era Orde Baru. Keragaman individu dan masyarakat dibungkam, diharuskan menyatu dalam bingkai yang dibuat negara. Di ranah keagamaan, penganut keyakinan mayoritas juga dapat mengejawantahkan persatuan represif, ketika melarang penafsiran yang berbeda dari keyakinan arus utama, dan menganggap penafsiran lain itu sebagai kesesatan yang harus disingkirkan bahkan dibasmi. 

Di pihak lain, keragaman juga bisa menimbulkan persoalan disintegrasi. Individu yang membiarkan keragaman psikisnya berjalan bersamaan di ruang dan waktu tertentu dapat mengalami kepribadian ganda, bingung dan galau. Orang lain pun tidak dapat mengidentifikasinya dengan pasti, dan menganggapnya semacam bunglon yang tidak jelas.

Orang  yang membeda, hanya fokus pada dirinya, tanpa memperdulikan yang lainnya, juga menimbulkan permasalahan berupa egoisme antisosial.  Sikap itu juga bisa merasuk kepada komunitas menjadi komunalisme antisosial. Jika egoisme dan komunalisme tersebut mendominasi kehidupan bersama, suasana neraka juga yang terasa. 

Keragaman dan persatuan, dengan demikian, sama-sama potensial mengaktualkan persoalan. Lantas bagaimana kita menghadapi kenyataan yang beragam dan persatuan yang diimajinasikan itu?   

E Pluribus Unum dan Kesepakatan Minimal

Tak seharusnya kita membuang air kotor di bak bekas mandi bayi berikut bayinya. Tak seharusnya pula kita membuang persatuan dan/atau keragaman yang menimbulkan persoalan. Lagi pula, ada hal-hal positif dalam keragaman dan persatuan selain hal-hal negatif di atas. Keragaman mengayakan kenyataan. Persatuan menguatkan simpul-simpul yang terpisah. Karena itu, keragaman dan/atau persatuan harus dikelola dengan baik. 

Keragaman dan persatuan bukan entitas yang harus dipilih salah satunya. Logika disjungtif dan logika konjungtif tidak berlaku padanya. Tak perlu memilih apakah bersatu atau beragam. Tak perlu juga mengatakan bahwa sesuatu itu tidak mungkin sekaligus beragam dan bersatu.

Sebaliknya, sesuatu justru bisa beragam dan bersatu. Diri kita ini punya banyak unsur tapi juga disebut sebagai satu kesatuan. Masyakat kita juga disebut sebagai satu bangsa dan satu negara, meskipun terdiri dari banyak suku dan agama. 

Kenyataan ini dalam bahasa Sansekerta disebut dengan Bhinneka Tungggal Ika. Sedangkan bahasa Latin menyebutnya E Pluribus Unum. Secara denotatif, yang pertama berarti berbeda tapi satu, dan yang kedua berarti satu dari banyak. Secara konotatif keduanya bermakna: menyatu dalam keragaman, dan meragam dalam kesatuan.  

Menyatu dan meragam sekaligus itu posisi tengah di antara dua ekstrem. Ekstrem pertama menguatkan persatuan menindas keragaman. Ekstrem kedua membiarkan perbedaan melupakan persatuan. Sedangkan bhinneka tunggal ika dan e pluribus unum mengupayakan persatuan dalam keragaman, dan mengingat perbedaan saat bersatu. Bagiamana caranya?

Untuk menyatu dalam perbedaan, titik temu harus dicari dan selalu diingat. Tanpa mencari dan mengingat titik temu, hanya titik tengkar yang terlihat, sehingga persatuan menjadi mustahil, dan perdamaian pun jauh panggang dari api.

Jika titik temu sudah ditemukan, diingat-ingat dan menimbulkan persatuan, maka perbedaan juga perlu diingat. Tanpa mengingat perbedaan, hanya akan terjadi penyeragaman. Dalam keseragaman, ekstrem pertama tersebut di atas yang akan terjadi, bukan posisi tengah. Karena itu, perbedaan tetap harus diingat dalam persatuan. 

Makanya, titik temu yang menyatukan perbedaan tersebut sebaiknya titik temu minimalis. Artinya, di titik itulah, pihak-pihak yang berbeda minimal bisa bersepakat. Jika yang berbeda itu berorientasi pada yang maksimal, maka egoisme/komunalisme antisosial yang akan mendominasi, tirani mayoritas menggejala, dan perbedaan liyan pun diabaikan. Karena itu, sebaiknya hal-hal minimal yang bisa disepakati bersama oleh pihak-pihak yang berbeda  yang menjadi acuan hidup bersama. 

Dengan berorientasi pada kesepakatan minimal itu, pihak-pihak yang berbeda bisa diharapkan menyatu, dan persatuan mereka pun tetap dapat mengakomodir perbedaan, sehingga kita dapat merealisasikan diktum “Bhinneka Tunggal Ika” dan “E Pluribus Unum”.

Terima kasih! 

*Orasi Zainul Maarif di Workshop Pluralisme yang diselenggarakan PEMDA DKI JAKARTA dan JPR, di Hotel Prabu Putragus, Cisarua, Puncak, Bogor, 3 April 2013. 

Apr 1, 2013

Epistemology

Knowledge or 'episteme' is one of the objects of philosophical thinking. Epistemology is the branch of philosophy that dwells in the discussion of knowledge issues, such as: its source, its limits and its measures.
Some of us negated knowledge, such as Gorgias, one of the leading figures of Sophist. He claimed the absence of something that can be known and communicated. He said, "There is nothing. If something exists, it could not be known. If something known, it could not be communicated."
Such statements based among the relativity of sensing and arbitrariness of convention. The results of sensory perception are very relative. In different distances or different point of views, things can be perceived in different senses. Then, the nature of things is not known certainly. Immanuel Kant, said that thing as such (das ding an sich/noumena) cannot be known. What is known is merely the appearance of thing (phenomena), which could be perceived and communicated in variety. Maximally, there is convention to mention it. But the convention was essentially arbitrary, as stated by Ferdinand de Saussure. Therefore, the essence of something is unknown.
The mentioned conclusion is true. But it is too premature to assume that knowledge is impossible. When skeptics negated knowledge, at least they know that they do not know, as stated by Greek philosopher, Socrates, "I know that I do not know". Ergo, there is knowledge, which should be sought, not ignored.
The obligation to find knowledge is related to the position of the human as being that does not merely exist (être en soir). Human, as Aristotle said, is a rational animal (homo rationale). Human is being for itself (être pour soir), says Jean-Paul Sartre. Even more, human is being for others (être pour l'autre), since " khairu an- nâs anfa’uhum li an-nâs (the best human is the most beneficial human for others), as stated by Muhammad. So, human should seek knowledge. Since, a person will not be able to benefit others without the knowledge. "Fâqid ash-syai 'La yu'thî (people who do not have nothing cannot give anything), said Arabic proverb.
The necessary thing to be searched is knowledge, i.e. the certainty that stated statement is really true and factual. The necessary thing to be shunned is ignorance, i.e. to know nothing, or to know things incorrectly. The problem is where we get true knowledge? How to get it? What is its limit? What is its parameter?

Sources and Methods of Knowledge

John Locke, the English philosopher, states that knowledge comes from the senses. In the beginning, human is like a blank white paper: tabula rasa. The sensory perception fills this emptiness. Reason, then, links those sensory perceptions, to generate knowledge.
Knowledge, in empirical perspective, is achieved by utilizing five senses. Reason only served stringing things accomplished by senses. Sense’s decision is the determinant of truth, according to empiricists.
At the point of determining the truth, the authority of senses is questionable. Sometimes, senses result inconsistent decisions. At a certain distance, eyes are seeing water on the road. But in place where water seems exist, there is no water. In such cases, sense faces a mirage, and does not state the truth. Therefore, empiricists’ opinion is disputable.
The rationalist, such as French philosopher, Descartes doubted the results of sensory perception. He doubted everything, until realized that the only thing that he did not doubt is a doubt. He doubt because he think. As far as self is thinking, self will aware its own existence. At the moment, Descartes said “cogito ergo sum”. I think, therefore I am.
Thoughts according to the rationalists are the source of knowledge. There are potential ideas inside every human. Senses are only particular factor to stimulate ideas actualization. Without senses, reason can actualize its potential ideas. Reason also can determine the rightness and the wrongness of knowledge.
Rationalists’ opinion is true. Reason which is thinking a thought can generate a thought, as mentioned by Al-Farabi, “al-‘aqlu al-âqilu al-ma’qûlu”. But statement that reason is the only source of true knowledge is questioned statement. Because, empiricist’s opinion also true that senses provide information for self ignorance.
Both senses and reason are equally as knowledge source. According to Immanuel Kant, reason can produces a priori knowledge (without sensory experience), and senses can produces a posteriori knowledge (with the sensory experience). Both could be analyzed or synthesized. Analyzing rational thinking is analytical a priori. Analyzing sensory experience is analytical a posteriori. Synthesizing rational thinking is synthesis a priori. Synthesizing sensory experience is synthesis a posteriori.  In Kantian perspective,   both senses and reason have great contribution in generating knowledge.
But a priori knowledge and a posteriori knowledge tends to make a distance between subject and object. The distance is widened by the symbols which represent objects to be understood by subject. Moreover the diversity of subject’s viewpoints makes a wider distance. Therefore, sensory knowledge and rational knowledge are relative, partial and mediated. Henry Bergson called it as discursive knowledge or knowledge about things.
This French philosopher proposed another model of knowledge which assumed as absolute, comprehensive and immediate. This assumed knowledge is gained by immediate experience of things; by internalizing object into subject. Bergson called it as intuitive knowledge, or knowledge of things.
Unfortunately, Bergson unawares that experience without symbolization is not communicated experience. It is very subjective experience. So, its ‘achieved knowledge' is relative too. In contrast, discursive knowledge is more objective and communicable. Therefore, it is unfair to place discursive knowledge and intuitive knowledge on hierarchical position.
Instead of stating that intuitive knowledge is superior to discursive knowledge, I tend to equalize them. Sensory knowledge, rational knowledge and intuitive knowledge has the same degree in fulfilling the human to knowledge. Each has its own characteristics. As long as they provide necessary knowledge for human being, they are in equal position. I use same perspective to see parameters of knowledge.

Parameters of Knowledge

Rationalists measure the validity of knowledge from the point of coherence. The definition of coherence is the regularity of the relationship between ideas logically, without any contradiction. The truth of a statement is measured from the point of its consistency. As long as a statement has logical consistency without any contradiction, it is valued as a truth.
At some points, coherence can determine the truth. But to be glued only on the logical consistence is not strong enough to determine the truth.  Other parameters are needed to measure the validity of knowledge. One of needed parameter of knowledge is correspondence. If coherence is only focusing on the relationship between ideas, correspondence is paying attention to the suitability of ideas with the real facts.
Suitability of ideas and facts is important. Since, not all logical idea is factual. Ontologically, some essence does not exist. The reality in space and time can make sure the truth of rational ideas. Thus, correspondence can strengthen the truth of coherence.
The truth of knowledge will be stronger if its coherence and correspondence was supported by its empirical, intuitive, and pragmatic. Knowledge is empirical if its truth could be traced by sensory experience. It is intuitive if could be directly experienced personally. And it is pragmatic if it is useful in particular situations. If knowledge contains all of those parameters, it will be more robust to be the truth.

Conclusion

Now it is clear what are the sources, the methods and the measures of knowledge. Minimally, human knowledge is derived from senses, reason, and intuition. Human will gain knowledge if using those knowledge tools which exist in himself. Human also could get knowledge from authority outside himself. But knowledge from outside self should be reviewed by knowledge sources from inside self.
In order to get coherent knowledge, human need to use his reason to think logically. He also needs to find the fact of his knowledge to achieve correspondent knowledge. Achieved knowledge will be stronger if experienced empirically and intuitively, and assured its useful for self and others. By synthesizing all of those sources, methods and parameters of knowledge, human being will obtain powerful knowledge to be declared as the truth.  (Zainul Maarif, Jakarta, April 1, 2013)

Mar 31, 2013

Definition of Philosophy

Etymologically ‘philosophy’ is Greek word ΦολοφοΦια. It means love of wisdom. Before Pythagoras, people were related philosophy to knowledge of divine things and humanitarian matters, while Pythagoras defined it as the study of the nature of everything.
In the hands of Socrates, philosophy was drawn into moralistic domain. Love of wisdom identified as love of morality. Disciple of Socrates, Plato is reluctant to restrict philosophy in ethics only. For him, philosophy also includes the study of nature with all of its principles, and the study of the soul, knowledge and human behavior.
Plato's pupil, Aristotle expanded the scope of philosophy which covers whole rational knowledge. Until middle Ages, Aristotle conception on philosophy is still valid. Almost all sciences were derived from philosophy.
In 17th century sciences separate from philosophy one by one. Subsequently, philosophy has unique material object at modern era.
According to Francis Bacon, philosophy covers three areas: metaphysics, ethics and physics. Rene Descartes analogized philosophy with tree: its root is metaphysics, its trunk is physics, and its branch is all science, especially medicine, mechanics and ethics. Herbert Spencer defines philosophy as a comprehensive and integral knowledge of universe. Antoine Augustin Cournot called philosophy as a critical-reflective study of everything studied and discovered by science.
In contemporary times, the definition of philosophy continues to grow. Edmund Husserl, phenomenology philosopher, called philosophy as study of basic principles of truth comprehensively and profoundly. To know the truth, Husserl did negative action epoche, and positive action  Zurück zu den Sachen selbst. His epoche is to questioning anything that has not been conclusively proven as truth. And his positive action is to know object directly without preliminary theories and assumptions.
In philosophizing, Husserl relies heavily on consciousness. In harmony with Husserl, Alois Riehl interprets philosophy as the science of awareness, i.e. science which obtain all its knowledge from data that goes into awareness.
Neo-Kantian philosophers, such as Windelband and Heinrich Rickert, interpret philosophy as a science that discuss the value of goodness, beauty, truth and divinity (ethics, aesthetics, logic, and religion). Philosophy, according to them, does not leaves science, instead use conclusions of particular sciences to get holistic worldview.
About science and philosophy, Bergson considers philosophy as a reflection based on the history of human thoughts and the development of sciences. Philosophy, in other words, is the logic of science.

Some philosophers bring philosophy to language domain. For example Schilick, one of figures in analytical school, relates philosophy with an explanation of the meaning. Max Scheler saw philosophy as study of the nature of beings in detail, clearly, and a priori. Merleau Ponty interprets philosophy as attention to the paradox.
Other philosophers tie philosophy with the nature or the essence. Jean Piaget, for example, called philosophy as the discussion on the essence and not the ownership of it, which is always aware of the limitations and possibilities for development. Bertrand Russell stated the task of philosophy is not reaching the set of nature, instead to discuss questions which are not answered easily and directly finish.
In such discussion, philosophy is not easily accepting a given answer. On the contrary, philosophy as defined by Jean Lacroix is interrogative thinking. Philosophy reflects a collection of human experience (history), and leads to the formation of things proven rationally. But philosophy is not merely rational. According to Jean Lacroix, philosophy is the translation of spiritual experience, either in the form of religion, metaphysics, ethics, or aesthetics.
                Aligned with Lacroix, Karl Jasper introduces the transcendental philosophy, since philosophy according to him is an effort to reach the highest degree of convincing knowledge. Its object is all beings. Its method is going beyond the object. So, philosophy is an action of free and soar soul (transcendental). Though transcendental action, philosophy is a way to ensure human existence.
                Unfortunately transcendental philosophy brings philosophy too high. John Dewey, as pragmatist philosopher, will to bring back philosophy to earth. His philosophy prioritizes outcomes and consequences rather than principles. For him, philosophy should be able to explain and present a solution to the problems or disputing thoughts.
                Nowadays, we find a specific book under the title, What is philosophy? (Qu'est-ce Que La Philosophy? ). In that book, Gilles Deleuze and Felix Guattary define philosophy as an art to form, to find and to knit concept. The concept has heterogeneous components synthesized by a point of view or a specific foundation. The concept is related to its external and internal components consistently. The concept is connected with the problems, solutions, history and events. Deleuze’s and Guattary’s definition of philosophy is very specific. They leave a wide scope of philosophy.
In Egypt, we will find a philosopher who returns philosophical domains. The philosopher is Abdurrahman Badawi. He state that philosophy has six objects: value, human existence, criticism of knowledge, the existence of an absolute, and the general principles of science. In reviewing those objects, philosophy utilizes science’s conclusions to form a theory and to state a truth.
There are eight sciences which form philosophy: logics, ethics, aesthetics, metaphysics, anthropology (human philosophy), epistemology, theology, and philosophy of science (philosophy of language, philosophy of culture, philosophy of history, natural philosophy [physics], philosophy of Life [biology], political philosophy, philosophy of mathematics, and philosophy of religion).
The philosophical method is deductive rational method. Its evidences are rational evidence. But philosophy is not only theoretical, but also practical. Philosophy also discusses something that could be known and done. Its discussion is going beyond the appearance, very critical, and very skeptical to reach the truth.
It is some definitions of philosophy. Its definition is very much as much as the number of philosophers. Considering the differences of their perspective of philosophy, Kattsoff argue that it is wasting time and not useful to resume their definitions of philosophy.  The useful thing in philosophy, I think is not to know what philosophy is, but how to philosophize. I will discuss it in other chapter, i.e. chapter on philosophical method. (Zainul Maarif, Jakarta, March 24, 2013)