Apr 3, 2013

E Pluribus Unum


Para  audien yang saya hormati 

Saya sangat senang dapat hadir di forum ini. Di kesempatan ini kita akan membincangkan tentang pluralisme. Karena latar belakang saya adalah dosen filsafat, maka mohon dimaklumi jika nanti nuansa filosofis akan masuk dalam perbincangan kita. Minimal nuansa filosofisnya berupa banyak pertanyaan yang akan kita elaborasi bersama-sama.

Keragaman

Pertanyaan pertama yang perlu dijawab: apa itu pluralisme?

Pluralisme adalah paham yang mengafirmasi keragaman yang ada. Yang ada terutama yang benar-benar ada dan yang nyata di ruang dan waktu itu banyak.

Coba perhatikan sekeliling kita! Yang duduk di samping Anda beragam bukan? Ada pria, ada wanita, dan mungkin ada waria. Ada yang sudah bekerja, ada pula yang belum bekerja. Ada yang sudah punya istri, ada yang sudah punya pacar, ada juga yang jomblo. Ada yang kuliah di jurusan ilmu budaya, ilmu politik, ilmu eksakta, ilmu seni dan lain sebagainya. Ada orang Betawi, Sunda, Jawa, Madura, Bali, Bugis, Padang, Batak dan lain sebagianya. Ada yang orang Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu, penganut kepercayaan lokal, penganut selain agama resmi di Indonesa, atau mungkin tidak beragama dan tidak bertuhan. 

Itu di luar diri kita. Di dalam diri kita juga terdapat keragaman, baik dari segi fisik maupun dari segi non-fisik. Secara fisik, tubuh kita ini punya unsur-unsur yang memiliki nama dan fungsi masing-masing, dari atas sampai bawah, dari luar sampai dalam. Psikis kita juga punya beragam cara untuk muncul. Kadang ia rasional, kadang religius, kadang melankolis, kadang tegar, dan lain sebagainya. Jadi, bisa disimpulkan bahwa kenyataan di luar dan di dalam diri kita menyatakan adanya keragaman. 

Tapi adakah kesatuan dalam keragaman itu?

Ada kesatuan dalam keragaman. Di dalam diri kita, kita dapat menyebut psikis dan fisik yang beragam itu dengan satu nama orang. Berbagai suku dapat disebut sebagai satu bangsa. Berbagai kepercayaan bisa sama-sama ditandai sebagai agama atau ideologi. Artinya keragaman itu dapat disatukan.  

Kesatuan 

Tapi coba perhatikan kesatuan dari keragaman itu! Apakah kesatuan itu sesuatu yang empiris atau rasionalis? Sesuatu yang materiil atau simbolis?

Nama orang, bangsa, agama, ideologi dan kesatuan-kesatuan serupa itu, lebih bersifat simbolis dan ditangkap oleh rasio.

Secara fisik, kesatuan itu tidak ada. Ia lebih bersifat metafisik ketimbang fisik. Dalam bahasa ontologi, ia merupakan esensi: hakekat dari suatu substansi yang dapat eksis dalam pluralitas. Esensi itu dapat ditangkap oleh rasio. Karena itu, tak mengherankan jika Benedic Anderson menyebut bangsa sebagai komunitas yang diimajinasikan (nation is imagined community).

Artinya, bangsa, demikian juga agama, suku dan diri itu sesuatu yang diimajinasikan. Ia hasil dari pikiran. Sifatnya ideal. Tapi, sebagai esensi, ia belum tentu nyata dalam ruang dan waktu. Eksistensinya meruang dan mewaktu jika terus-menerus dipikirkan. Itulah salah satu tugas kita dalam menyatukan keragaman di dalam diri dan luar diri kita. 

Persoalan Kesatuan dan Keragaman

Tapi apakah kesatuan dan/atau keragaman bebas dari persoalan? Mari kita tinjau ulang.

Penyatuan Itu bisa berlaku represif. Di ranah berbangsa dan bernegara, Indonesia pernah mengalami hal itu di era Orde Baru. Keragaman individu dan masyarakat dibungkam, diharuskan menyatu dalam bingkai yang dibuat negara. Di ranah keagamaan, penganut keyakinan mayoritas juga dapat mengejawantahkan persatuan represif, ketika melarang penafsiran yang berbeda dari keyakinan arus utama, dan menganggap penafsiran lain itu sebagai kesesatan yang harus disingkirkan bahkan dibasmi. 

Di pihak lain, keragaman juga bisa menimbulkan persoalan disintegrasi. Individu yang membiarkan keragaman psikisnya berjalan bersamaan di ruang dan waktu tertentu dapat mengalami kepribadian ganda, bingung dan galau. Orang lain pun tidak dapat mengidentifikasinya dengan pasti, dan menganggapnya semacam bunglon yang tidak jelas.

Orang  yang membeda, hanya fokus pada dirinya, tanpa memperdulikan yang lainnya, juga menimbulkan permasalahan berupa egoisme antisosial.  Sikap itu juga bisa merasuk kepada komunitas menjadi komunalisme antisosial. Jika egoisme dan komunalisme tersebut mendominasi kehidupan bersama, suasana neraka juga yang terasa. 

Keragaman dan persatuan, dengan demikian, sama-sama potensial mengaktualkan persoalan. Lantas bagaimana kita menghadapi kenyataan yang beragam dan persatuan yang diimajinasikan itu?   

E Pluribus Unum dan Kesepakatan Minimal

Tak seharusnya kita membuang air kotor di bak bekas mandi bayi berikut bayinya. Tak seharusnya pula kita membuang persatuan dan/atau keragaman yang menimbulkan persoalan. Lagi pula, ada hal-hal positif dalam keragaman dan persatuan selain hal-hal negatif di atas. Keragaman mengayakan kenyataan. Persatuan menguatkan simpul-simpul yang terpisah. Karena itu, keragaman dan/atau persatuan harus dikelola dengan baik. 

Keragaman dan persatuan bukan entitas yang harus dipilih salah satunya. Logika disjungtif dan logika konjungtif tidak berlaku padanya. Tak perlu memilih apakah bersatu atau beragam. Tak perlu juga mengatakan bahwa sesuatu itu tidak mungkin sekaligus beragam dan bersatu.

Sebaliknya, sesuatu justru bisa beragam dan bersatu. Diri kita ini punya banyak unsur tapi juga disebut sebagai satu kesatuan. Masyakat kita juga disebut sebagai satu bangsa dan satu negara, meskipun terdiri dari banyak suku dan agama. 

Kenyataan ini dalam bahasa Sansekerta disebut dengan Bhinneka Tungggal Ika. Sedangkan bahasa Latin menyebutnya E Pluribus Unum. Secara denotatif, yang pertama berarti berbeda tapi satu, dan yang kedua berarti satu dari banyak. Secara konotatif keduanya bermakna: menyatu dalam keragaman, dan meragam dalam kesatuan.  

Menyatu dan meragam sekaligus itu posisi tengah di antara dua ekstrem. Ekstrem pertama menguatkan persatuan menindas keragaman. Ekstrem kedua membiarkan perbedaan melupakan persatuan. Sedangkan bhinneka tunggal ika dan e pluribus unum mengupayakan persatuan dalam keragaman, dan mengingat perbedaan saat bersatu. Bagiamana caranya?

Untuk menyatu dalam perbedaan, titik temu harus dicari dan selalu diingat. Tanpa mencari dan mengingat titik temu, hanya titik tengkar yang terlihat, sehingga persatuan menjadi mustahil, dan perdamaian pun jauh panggang dari api.

Jika titik temu sudah ditemukan, diingat-ingat dan menimbulkan persatuan, maka perbedaan juga perlu diingat. Tanpa mengingat perbedaan, hanya akan terjadi penyeragaman. Dalam keseragaman, ekstrem pertama tersebut di atas yang akan terjadi, bukan posisi tengah. Karena itu, perbedaan tetap harus diingat dalam persatuan. 

Makanya, titik temu yang menyatukan perbedaan tersebut sebaiknya titik temu minimalis. Artinya, di titik itulah, pihak-pihak yang berbeda minimal bisa bersepakat. Jika yang berbeda itu berorientasi pada yang maksimal, maka egoisme/komunalisme antisosial yang akan mendominasi, tirani mayoritas menggejala, dan perbedaan liyan pun diabaikan. Karena itu, sebaiknya hal-hal minimal yang bisa disepakati bersama oleh pihak-pihak yang berbeda  yang menjadi acuan hidup bersama. 

Dengan berorientasi pada kesepakatan minimal itu, pihak-pihak yang berbeda bisa diharapkan menyatu, dan persatuan mereka pun tetap dapat mengakomodir perbedaan, sehingga kita dapat merealisasikan diktum “Bhinneka Tunggal Ika” dan “E Pluribus Unum”.

Terima kasih! 

*Orasi Zainul Maarif di Workshop Pluralisme yang diselenggarakan PEMDA DKI JAKARTA dan JPR, di Hotel Prabu Putragus, Cisarua, Puncak, Bogor, 3 April 2013. 

No comments:

Post a Comment