Oleh Zainul Maarif, Dosen Filsafat Komunikasi @philomaarif
Akhir-akhir ini, kehidupan privat dan publik kita digaduhi oleh kampanye politik. Beragam orang berbicara politik, bahkan ada yang ‘mendadak politik’. Pelbagai media pun memaparkan kampanye politik, terutama media sosial, yang ‘mengjaelangkungkan’ politik, bahkan ‘meng-omnipresent-kannya’.
Akhir-akhir ini, kehidupan privat dan publik kita digaduhi oleh kampanye politik. Beragam orang berbicara politik, bahkan ada yang ‘mendadak politik’. Pelbagai media pun memaparkan kampanye politik, terutama media sosial, yang ‘mengjaelangkungkan’ politik, bahkan ‘meng-omnipresent-kannya’.
‘Keserbahadiran’ kampanye politik yang cenderung
‘datang tak diundang’ itu pada titik tertentu menarik kita hanyut ke dalamnya. Awalnya,
kita mungkin hanya komunikan (penerima kampanye), tapi kemudian menjadi
komunikator (pengujar kampanye). Setelah kita masuk ke dalam pusaran kampanye,
kadang objektivitas kita kandas, akal kita tumpul, pikiran kita keruh, dan
tindakan kita kacau.
Alih-alih turut serta masuk ke dalam labirin
itu, penulis mengajak pembaca untuk melakukan distansisi: menjaga jarak dari
kampanye politik, dan meninjau ulang apa itu kampanye, supaya pikiran dan
tindakan kita kembali jernih.
Kampanye Positif/Negatif
Kampanye dapat
didefinisikan sebagai bujukan pada orang lain untuk memilih sesuatu dan/atau
menolak sesuatu lain. Bujukan untuk memilih sesuatu dapat disebut dengan
kampanye positif. Bujukan untuk menolak yang lain dapat disebut dengan kampanye
negatif. Jadi, kampanye, secara sederhana, dapat dikategorikan menjadi dua:
kampanye positif dan kampanye negatif.
Kampanye positif
dilakukan dengan menunjukkan sisi baik sesuatu untuk dipilih. Kampanye negatif
dilancarkan dengan menunjukkan sisi buruk hal lain untuk ditolak. ‘Positif’ di
sini identik dengan kebaikan, pilihan, dan diri; sedangkan ‘negatif’ identik
dengan keburukan, penolakan, dan liyan (orang lain). Sehingga, kampanye dapat
dikatakan sebagai perseteruan antara diri dan liyan, antara kebaikan dan
keburukan, di mana diri dan kebaikan diharapkan untuk dipilih, sementara liyan
dan keburukan diharapkan untuk ditolak.
Tapi, sejatinya,
diri tak selalu baik. Liyan pun tak selalu buruk. Yang ada pada diri tak
selamanya layak dipilih. Yang ada pada liyan tak selamanya layak ditolak.
Keburukan terkadang melekat pada diri, sebagaimana kebaikan kadang berada pada
liyan. Sehingga, sering kali, yang terjadi pada kampanye hanyalah ‘klaim’
tentang diri sebagai representasi kebaikan, dan ‘klaim’ tentang liyan sebagai
perwakilan keburukan. Selaku klaim, sumber kampanye mungkin fakta, mungkin juga
fiksi. Sehingga, kampanye dapat dimasukkan ke dua kategorika lain: kampanye
faktual dan kampanye fiktif.
Kampanye Faktual/Fiktif
Kampanye faktual
adalah kampanye yang bersumber dari hal-hal yang benar-benar terjadi. Sedangkan
kampanye fiktif adalah kampanye yang bersumber dari data rekayasa imajinasi. Karena
berdasarkan pada fakta yang sebenarnya, kampanye faktual tentu lebih benar
daripada kampanye fiktif. Kampanye fiktif mungkin lebih kreatif daripada
kampanye faktual. Tapi karena kampanye politik mendambakan kebenaran bukan
hiburan, maka kampanye fiktif tak selayaknya diselenggarakan. Kampanye
faktuallah yang seharusnya dikemukakan.
Kampanye faktual
menghadirkan kebenaran yang disebut epistemologi dengan korespondensi. Yaitu,
parameter kebenaran yang mengharuskan kesesuaian pernyataan dengan kenyataan. Sejauh
kenyataan mendukung pernyataan, maka suatu pernyataan dinyatakan benar. Seharusnya,
kampenye politik didasari dan dinilai dengan kebenaran korespondensi semacam
itu. Bahkan, sebaiknya, kampanye politik tak hanya koresponden, tapi juga
koheren.
Kampanye Rasional/Irasional
Kampanye koheren
adalah kampanye yang didasari oleh rasionalitas konsisten. Satu pernyataan
diharapkan masuk akal, dan selaras dengan pernyataan lain, bukan malah bertolak
belakang. Dengan kata lain, kampanye koheren adalah kampanye rasional: kampanye
yang bersumber dari dan dapat ditinjau ulang dengan akal.
Kampanye rasional
didasari oleh logika yang waspada dalam membuat pernyataan (kalimat
berita/proposisi). Setiap pernyataan, secara logis, memiliki unsur term subjek
dan term predikat (S-P). Kadang hubungan antara kedua term itu mengiya (afirmatif
[S = P]), kadang menidak (negatif [S # P].
Untuk membuat dan
meninjau pernyataan secara logis, pertama-tama definisikan setiap term, dengan
menjawab pertanyaan: “apa itu ‘S’?”dan “Apa itu ‘P’”. Dalam mendefinisikan
term, pastikan definisi itu jelas (clear) dan terbedakan (distint); mencakup
semuanya (jâmi’) dan mengelurkan yang bukan bagiannya (mâni’).
Setelah term terdefinisikan, pertanyakan hubungan antar-term tersebut dengan
menjawab pertanyaan “apakah S = P” atau “apakah S # P?”.
Contohnya, kampanye yang menyatakan “fulan
adalah pembela HAM (Hak Asasi Manusia) (S =
P)”. Sang komunikator pertama-tama harus mendefinisikan “apa itu pembela HAM?” (apa itu ‘P’?)
dan “siapa itu fulan” (siapa itu ‘S’?), secara clear, distint, jâmi’
dan mâni’. Jika tidak, komunikan akan dengan mudah meruntuhkan
pernyataannya.
Sebaliknya, jika definisi
universal bagi term “pembela HAM” telah dicapai, dan “fulan” pun telah
diidentifikasi dengan tepat, maka pertanyaan kedua perlu dijawab “apakah hal
itu seperti itu?”, “apakah S adalah P”, “apakah fulan itu pembela HAM?” Bila
masing-masing dari subjek dan predikat sudah didefinisikan dengan benar, dan
kedua term itu pun berhubungan secara afirmatif, maka pernyataan di atas
menjadi benar secara koheren dan rasional. Sebaliknya, bila ternyata tidak ada
hubungan yang jelas antara subjek dan predikat, setelah subjek dan predikat didefinisikan,
maka pernyataan tersebut menjadi rancu. Itu sekedar contoh, berkampanye, bahkan
kontra-kampanye, secara logis-rasional-koheren.
Lawan dari
kampanye rasional adalah kampanye irasional. Yaitu, kampanye yang membabi buta
mencintai diri sendiri dan/atau jagoan yang didukung, sekaligus membenci liyan
dan/atau lawan yang ditolak. Kampanye irasional hanya dilakukan oleh bodoh
(atau orang ‘pintar’ tapi tidak taat pada prinsip ‘kebenaran’), dan
menghasilkan kebodohan. Kampanye irasional, acapkali berisi fitnah, jauh dari
fakta, dan akal sehat, oleh karena itu, seyogianya dihindari.
Penutup
Dalam kampanye
politik yang hingar bingar ini, penulis berharap komunikator dan komunikan
kampanye menyadari jenis kampanye yang sedang dikomunikasikan, bahkan memilih
jenis kampanye yang ideal.
Seharusnya komunikator dan komunikan kampanye
politik menghindar dari kampanye negatif-fiktif-irasional. Sebab, kampanye
negatif hanya memenuhi ruang publik dengan keburukan. Kampanye fiktif menjejali
audien dengan karangan yang jauh dari fakta. Dan kampanye irasional hanya
menghadirkan orang sesat yang menyesatkan.
Sebaliknya, komunikator dan komunikan kampanye
politik seharusnya menerapkan dan mendekat pada kampanye positif-faktual-rasional.
Dengan kampanye positif-faktual-rasional yang tampak hanyalah kebaikan-kebaikan
penuh harapan, yang punya landasan kenyataan, dan mendorong semua pihak menjadi
cerdas dan mencerdaskan. []
*Artikel ini telah dipublikasikan di rubrik Pendapat, Koran Tempo, 13 Juni 2014, h. 14
No comments:
Post a Comment