Zainul Maarif
Dosen Filsafat @philomaarif
Di Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
(Pilpres) tahun 2014 ini, debat calon presiden (capres) dan calon
wakil Presiden (cawapres) memperdengarkan
tiga definisi demokrasi. Capres Prabowo Subiyanto
mendefinisikan demokrasi sebagai “alat untuk mencapai suatu tujuan”. Cawapres Hatta
Rajasa merevisi definisi demokrasi pasangannya itu dengan mengatakan “demokrasi
bukan sekadar alat, melainkan value (nilai)”. Lalu, lawan mereka berdua,
Capres Joko Widodo mengangap demokrasi sebagai “mendengarkan suara rakyat dan
melaksanakannya”.
Tiga definisi tersebut perlu ditinjau ulang. Sebab,
definisi tidak hanya menghilangkan ambiguitas, menjernihkan arti, dan menambah
perbendaharaan kata, melainkan dapat mempengaruhi sikap juga. Pengaruh definisi
pada sikap merupakan hal yang sangat penting dipertimbangkan, terlebih jika
yang didefinisikan terkait hajat hidup orang banyak, dan yang mendefisikannya
adalah orang yang akan mengejawantahkan definisi itu.
Demokrasi jelas-jelas terkait dengan seluruh
rakyat, bangsa dan negara. Sementara Capres dan Cawapres adalah tokoh-tokoh
yang akan memimpin pelaksanaan demokrasi. Jika definisi mereka tentang
demokrasi keliru, maka sikap mereka pun pada demokrasi akan keliru. Dan itu
membahayakan. Karena itu, ketepatan definisi mereka atas demokrasi yang terkait
dengan kita semua sangat penting dan perlu ditinjau.
Definisi Etimologis dan Logis
Untuk meninjaunya, diperlukan parameter
peninjauan. Dalam hal ini, definisi etimologis dan definisi logis atas
demokrasi dijadikan sebagai acuan. Secara etimologis, demokrasi berasal dari
bahasa Yunani yaitu demos, yang berarti rakyat, dan kratos, yang
berarti pemerintahan. Jadi, demokrasi, secara etimologis, berarti pemerintahan
rakyat.
Secara logis, sesuatu dapat didefinisikan
dengan dicari jenis terdekat (genus proximum) dan ciri spesifiknya (differentia specifica). Jenis terdekat
demokrasi adalah sistem pemerintahan orang banyak. Sementara ciri spesifik
sistem pemerintahan demokratis adalah sistem itu dikelola oleh rakyat,
pengelola sistem itu pun berasal dari rakyat, dan hasil dari sistem itu
didedikasikan untuk rakyat. Jadi, definisi demokrasi secara logis adalah sistem
pemerintahan orang banyak yang dikelola oleh rakyat, yang berasal dari rakyat,
dan diperuntukan bagi rakyat.
Definisi logis demokrasi itu menampakkan posisi
rakyat sangat sentral dalam sistem demokrasi.
Rakyat adalah sumber, pelaku, sekaligus penerima hasil demokrasi. Rakyat
berada di awal, di tengah dan di akhir demokrasi. Sehingga, rakyat tidak layak
disebut sebagai alat demokrasi. Rakyat adalah tujuan demokrasi, bahkan
melampuai tujuan, karena rakyat juga pelaku dan sumber bagi terselenggaranya
tujuan demokrasi.
Demokrasi sebagai Alat
Atas dasar itu, tampak jelas bahwa definisi demokrasi ala
Prabowo tidak bersentuhan dengan definisi logis demokrasi itu. Definisi yang
dibuat Prabowo itu mungkin benar bila yang dibicarakan adalah variabel demokrasi
dan negara, di mana mengelola negara adalah tujuan, sedangkan demokrasi
hanyalah salah satu sistem alternatif (alat) untuk mengelolanya, di samping
sistem-sistem lain seperti aristokrasi dan oligarki. Jadi, demokrasi ala
Prabowo adalah alat untuk mengelola negara (tujuan).
Tapi, ketika Prabowo mengatakan semacam itu, Prabowo
secara sadar atau tidak sadar telah menimbulkan blunder. Sebab, kata
“alat” di situ mengandaikan kesementaraan demokrasi bagi “negara”. Sebagai
kesementaraan, demokrasi mungkin diganti dengan sistem lain, seperti pseudo
monarki, aristokrasi, dan oligarki. Pernyataan Prabowo itu pun menimbulkan
pertanyaan tentang keberlanjutannya dalam menerapkan demokrasi di Indonesia
sekiranya dia jadi presiden.
Identifikasi Prabowo pada demokrasi sebagai
“alat” juga bermasalah sejauh demokrasi sangat identik dengan rakyat.
Mengatakan “demokrasi adalah alat” bersinggungan dengan pernyataan “demokrasi
adalah rakyat” menghasilkan kesimpulan yang mencengangkan, yaitu “rakyat adalah
alat”, karena rumusan argumennya adalah
D = A; D = R; Jadi, R = A. Capres yang mengganggap rakyat sebagai alat tentu
sangat bermasalah.
Demokrasi sebagai Nilai
Karena definisi Prabowo bermasalah, Hatta Rajasa segera meluruskan definisi
Prabowo tadi. Cawapres yang mendampingi Prabowo itu mengatakan “demokrasi bukan
sekedar alat, melainkan value (nilai)”.
Dalam filsafat nilai (axiologi), nilai adalah sesuatu yang disetujui baik secara intrinsik (bernilai pada dirinya) maupun secara instrumental (bernilai untuk yang lainnya). (Kattsoof, 2004: 319-321) Dengan mengatakan demokrasi adalah nilai, Hatta secara implisit hendak menampik kesementaraan demokrasi bagi Indonesia. Dia juga enggan menganggap rakyat sebagai alat. Demokrasi dengan demikian disetujui oleh Hatta sebagai pilihan yang memang bernilai pada dirinya dan/atau untuk yang lainnya (rakyat dan negara).
Dalam filsafat nilai (axiologi), nilai adalah sesuatu yang disetujui baik secara intrinsik (bernilai pada dirinya) maupun secara instrumental (bernilai untuk yang lainnya). (Kattsoof, 2004: 319-321) Dengan mengatakan demokrasi adalah nilai, Hatta secara implisit hendak menampik kesementaraan demokrasi bagi Indonesia. Dia juga enggan menganggap rakyat sebagai alat. Demokrasi dengan demikian disetujui oleh Hatta sebagai pilihan yang memang bernilai pada dirinya dan/atau untuk yang lainnya (rakyat dan negara).
Namun definisi Hatta itu terdengar abstrak.
Hanya orang yang benar-benar terpelajar yang dapat memahami maksudnya. Padahal
demokrasi selaku sistem yang berporos pada rakyat seharusnya dipahami oleh seluruh
rakyat tanpa terkecuali. Oleh karena itu, Joko Widodo alias Jokowi yang menyadari tak
semua rakyat Indonesia terpelajar, memberi definisi kongkret bagi demokrasi.
Capres nomor urut 2 itu mendefinisikan demokrasi dengan “mendengarkan suara
rakyat dan melaksanakannya”.
Demokrasi, Rakyat dan Pejabat
Secara logika formal, definisi Jokowi itu tidak
sahih. Sebab, defiens (kalimat yang menjelaskan) seharusnya pararel
dengan definiendum (kata yang dijelaskan). Sementara di definisi jokowi
tersebut definiendum yang kata benda (demokrasi) dijelaskan dengan definien
kata kerja (mendengarkan). Jadi, definisi Jokowi itu tidak taat asas definisi
logika formal.
Tapi, pada saat yang sama, definisi Jokowi itu justru
membuat revolusi pemahaman. Pertama, dia mentransformasikan demokrasi dari
posisi statis kata benda ke posisi progresif kata kerja. Dengan progresifitas
kata kerja, demokrasi diupayakan terus mengada, secara nyata, dengan kerja
seluruh pihak yang terkait dengannya, sesuai posisi masing-masing.
Bagi Jokowi, rakyat berposisi sebagai pihak
yang berbicara kepada pejabat (presiden/gubernur/walikota), sedangkan pejabat berposisi sebagai pihak yang mendengarkan suara rakyat. Rakyat bertugas memerintah
pejabat, sementara pejabat bertugas melaksanakan perintah rakyat. Di situ,
revolusi pemahaman yang kedua muncul: bahwa posisi rakyat lebih tinggi dari
pejabat, dan pejabat harus mengabdi kepada rakyat
Dengan penjungkirbalikan posisi pejabat dan
rakyat di demokrasi ala Jokowi itu, rakyat kembali diletakkan di posisi sentral
demokrasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa definisi demokrasi ala Jokowi itu cocok
dengan teori: definisi demokrasi secara etimologis dan logis di atas. Bahkan
definisi yang dibuat Jokowi itu pun cocok dengan kenyataan. Sebab, pejabat negeri ini memang harus disadarkan posisinya sebagai abdi, bukan tuan bagi
rakyat. Dan Jokowi menyadarinya dan menyadarkan kita tentangnya, dan telah
bahkan masih melaksanakannya. []