Estetika adalah cabang dari aksiologi yang membahas tentang nilai
keindahan. Ketika dipertanyakan apa itu indah dan apa pula ukurannya, muncul beberapa jawaban.
Pertama, indah itu sesuatu yang nikmat menurut panca indera. Itu jawaban
George Santayana di buku The Sense of Beauty: Being the Outline of Aesthetic
theory, (New York: Dover Publication, 1955). Sesuatu yang nikmat
dipandang, didengar, dicium, dikecap, atau diraba, itulah yang indah. Jika
salah satu panca indera mencerap kenikmatan dari suatu objek, maka objek
tersebut layak diberi atribut yang indah.
Di situ, yang indah bersifat inderawi dan erat hubungannya dengan
hal-hal ragawi. Jika yang dipersoalkan adalah kecantikan perempuan, misalnya,
maka yang cantik adalah yang nikmat secara inderawi. Yang cantik adalah yang
enak dilihat mata, beraroma wangi, bersuara merdu, dan berkulit halus.
Parameter keindahan semacam itu memang mudah untuk disepakati. Tapi
jika kenikmatan inderawi dijadikan satu-satunya ukuran keindahan, maka keraguan
mencuat.
Sebagaimana dimaklumi yang ragawi bersifat sementara. Yang inderawi
sering kali menipu. Keindahan yang ragawi dan inderawi, dengan kata lain, tidak
abadi dan terkadang tidak jujur. Keindahan yang sementara memudahkan kemunculan
rasa bosan. Keindahan yang bohong memuakkan kesadaran. Di situ, keindahan versi
inderawi dan ragawi yang diusung antara lain oleh Santayana punya kelemahan.
Untuk apa perempuan bertubuh cantik menurut panca indera namun bodoh?
Demikian kurang lebih kritikan untuk parameter kecantikan ragawi-inderawi.
Perempuan yang memiliki fisik sempurna tapi tidak dapat berfikir rasional perlu
dipersoalkan kecantikannya.
Adalah Jacques Maritain, salah seorang yang menekankan keindahan pada
sisi rasionalitas. Di buku The Philosophy of Art, (Sussex: Dominic’s
Press, 1947), Maritain menegaskan bahwa yang indah adalah yang rasional.
Sesuatu disebut indah jika masuk akal. Seni yang indah adalah seni yang tidak
bertentangan dengan akal sehat. Perempuan yang cantik adalah perempuan yang
terampil menggunakan akalnya dan dapat diajak berinteraksi secara rasional.
Yang indah secara rasional punya kemungkinan untuk tidak indah secara
inderawi. Perempuan yang berfisik tidak sempurna layak dinyatakan cantik jika
cerdas dan cermat. Sebaliknya perempuan bertubuh ideal disebut jelek jika
dungu. Hal itu terkait dengan pengarusutamaan pada unsur pikiran daripada unsur
ragawi-inderawi.
Tapi yang rasional belum tentu nyaman di hati. Seperti kritikan pedas,
meski menyatakan kebenaran, kadang menyakitkan hati. Demikian pula seni yang
rasional sering kali justru menggundahkan hati. Di situ keindahan rasional
dipersoalkan.
Benedetto Croce lebih mengutamakan intuisi daripada rasionalitas dalam
mengidentifikasi keindahan. Di buku The Essence of Aesthetics, (London: William
Heinemann, 1931), Croce menekankan pada keindahan intuitif. Yang indah adalah
sesuatu yang nyaman di hati dan sulit diungkapkan dengan kata-kata. Perempuan
yang cantik adalah perempuan yang menentramkan kalbu, meski mungkin tubuhnya
tidak ideal, otaknya pun tidak pintar. Bahasa kalbu merupakan ukuran bagi bagus
dan jeleknya sesuatu.
Parameter keindahan intuitif tentu cenderung bernuansa subjektif. Ia
berlaku pada seseorang tapi tidak pada orang lain. Sementara parameter keindahan
inderawi dan rasional lebih mudah untuk diterima banyak orang daripada parameter
keindahan intuitif. Yang dianggap indah oleh sepasang mata, punya kemungkinan
besar untuk diafirmasi keindahanannya oleh sepasang mata lain. Demikian pula
yang masuk akal akan mudah diterima oleh akal mana pun.
Namun yang jadi persoalan apakah keindahan rasional, keindahan inderawi
dan keindahan intuitif tersebut berguna dalam kehidupan nyata? Bagi John Dewey
di buku Art as Experience, (New York: Perigee Books 1934) yang indah
harus berkisanambungan dengan pengalaman hidup.
Seni dianggap indah jika memberi solusi bagi keberadaan manusia di muka
bumi. Jika puisi, misalnya, hanya bermain dengan kata-kata, maka puisi tersebut
tak layak disebut seni, apalagi seni indah. Demikian pula seni semacam prosa
misalnya, tak pantas disebut seni indah, meski ketat dalam tataran logika. Dan
perempuan yang bertubuh ideal, berpikiran cemerlang, dan menentramkan batin,
tidak bisa disebut perempuan cantik jika tidak bisa diajak mengarungi hidup
yang sering penuh onak dan duri. Singkat kata, keindahan harus berbanding lurus
dengan kemanfaatan hayati sehari-hari. Yang indah, dengan kata lain, harus pragmatis.
Sampai batas ini, teori keindahan yang satu tampak berseberangan dengan
teori keindahan yang lain. Yang indah menurut orang empiris tidak indah menurut
orang rasionalis. Yang indah bagi orang intuitif tidak dianggap indah oleh orang
pragmatis.
Alih-alih memposisikan keempat estetika tersebut secara berhadap-hadapan,
penulis cenderung untuk mensintesiskannya. Keindahan paripurna terdapat pada
sesuatu yang nikmat secara inderawi, mantap secara rasional, nyaman secara
intuitif, dan bermanfaat secara pragmatis. Misalkan keindahan itu dilekatkan pada
perempuan, maka perempuan yang indah adalah perempuan yang bertubuh ideal, cerdas,
menentramkan hati, dan dapat diajak hidup bersama dalam suka dan duka.
Keindahan semacam itu memang keindahan yang sangat ideal, namun mungkin
untuk dicapai. Sejauh sesuatu hendak disebut benar-benar indah, sesuatu harus lulus
ujian empiris, rasional, intuitif dan pragmatis sekaligus. (Zainul Maarif, Jakarta,
24 April 2013)